Pengikut

Rabu, 19 Juli 2017

laporan kimia klinik cairan pleura

BAB I
PENDAHULUHAN

1.1.        Latar  Belakang
Efusi cairan pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paruparu dan rongga dada, diantara permukaan viseral dan parietal. Dalam keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi (Price dan Lorraine, 2005).
Pada negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatic (Price dan Lorraine, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlunya menegakkan diagnosa percobaan pemeriksaan cairan pleura secara makroskopis, kimia dan mikroskopis untuk mengetahui adanya kelainan patofisiologis cairan pleura, yang selengkapnya akan dibahas pada pemeriksaan yang dilakukan pada percobaan kali ini.
1.2.        Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah
1.    Bagaimana pemeriksaan cairan pleura secara makroskopis?
2.    Bagaimana pemeriksaan cairan pleura secara kimia?
3.    Bagaimana pemeriksaan cairan pleura secara mikroskopis?


1.3.        Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah
1.    Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura secara makroskopis.
2.    Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura dengan kimia.
3.    Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura secara mikroskopis.



BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi cairan pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura (Smeltzer, 2002).
Pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl (Bahar, 2001).
2.2  Anatomi dan Fisiologi Pleura
2.2.1. Anatomi Pleura
Pleura merupakan membran tipis yang terdiri atas dua lapisan yang berbeda, yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini, sebagai berikut :
1.     Pleura Viseralis
Bagian permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 μm), di antara celah-celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit dibawah sel mesotelial. Struktur lapisan tengah memiliki jaringan kolagen dan serat-serat elastik, sedangkan lapisan terbawah tedapat jaringan interstisial subpleura yang sangat banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri pulmonalis dan brakialis serta kelenjar getah bening. Keseluruhan jarigan pleura viseralis ini menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru.

2.    Pleura Parietalis
Lapisan pleura parietalis merupakan lapisan jaringan yang lebih tebal dan terdiri atas sel-sel mesotelial serta jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan ikat ini terdapat pembuluh kapiler dari arteri interkostalis dan mammaria interna, kelenjar getah bening, banyak reseptor saraf sensorik yang peka terhadap rasa nyeri. Di tempat ini juga terdapat perbedaan temperature. Sistem pernafasan berasal dari nervus interkostalis 4 dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tetapi juga mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya (Smeltzer, 2002).
2.2.2 Fisiologi
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura (Halim, 2001).
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada  selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura (Halim, 2001).

2.3.        Etiologi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi  2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat.
Ø  Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a.             Transudat
            Keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1.   Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2.   Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3.   Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4.   Menurunnya tekanan intra pleura
Ø  Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a.   Gagal jantung kiri (terbanyak)
b.   Sindrom nefrotik
c.   Obstruksi vena cava superior
d.   Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening) (Halim, 2001).
b.  Eksudat
          Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
a.   Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
b.   Tumor pada pleura
c.   Iinfark paru,
d.   Karsinoma bronkogenik
e.   Radiasi,
f.    Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).
2.4 Pemeriksaan Cairan Pleura
2.4.1. Makroskopis Cairan Pleura
Pada pemeriksaan cairan pleura ini meliputi : jumlah, warna, kerjernihan, bau, berat jenis, dan bekuan. Pada pemeriksaan ini akan membedakan yang tergolong cairan transudat dan cairan eksudat.
Transudat terjadi sebagai akibat proses bukan radang oleh gangguan kesetimbangan cairan badan (tekanan osmosis koloid, stasis dalam kapiler atau tekanan hidrostatik, kerusakan endotel). Pemeriksaan cairan transudat ini yaitu transudat dengan ciri-ciri transudat spesifik : cairan jernih, encer, kuning muda, berat jenis 1010 atau setidak-tidaknya kurang dari 1018, tidak menyusun bekuan (tidak ada fibrinogen), kadar protein kurang dari 2,5 g/dl, kadar glukosa kira-kira sama seperti dalam plasma darah, jumlah sel, dan bersifat steril.  
Eksudat berkaitan dengan salah satu proses peradangan. Pemeriksaan cairan eksudat dengan ciri-ciri eksudat spesifik : keruh (berkeping-keping, purulent, mengandung darah, chyloid), kental, warna bermacam-macam, berat jenis lebih dari 1018, sering ada bekuan (oleh fibrinogen), kadar protein lebih dari 4,0 g/dl, kadar glukosa jauh kurang dari kadar dalam plasma darah (Gandasoebrata, 2010).

2.4.2. Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
Pada pemeriksaan kimia cairan pleura meliputi kadar glukosa dan protein dalam cairan itu. Cairan rongga dalam keadaan normal mempunyai susunan plasma darah tanpa albumin dan globulin-globulin. Transudat mempunyai kadar glukosa sama seperti plasma, sedangkan untuk cairan eksudat mengandung banyak leulkosit. Pada pengujian protein dalam transudat yaitu fibrinogen dalam transudat kadarnya rendah sekitar antara 300-400 mg/dl dan dalam eksudat kadar protein sekitar 4-6 g/dl atau lebih tinggi (Gandasoebrata, 2010).

2.4.3. Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
Pada pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini meliputi : menghitung jumlah leukosit dan menghitung jenis sel. Pada pemeriksaan menghitung jumlah leukosit ini menggunkan pengenceran seperti menghitung jumlah leukosit dalam darah. Bahan pengenceran yang digunakan yaitu larutan NaCl 0,9%. Pada cairan transudat mengandung sekitar kurang dari 500 sel/ul, jika semakin tinggi angka maka semakin besarcairan tersebut disebut cairan eksudat.
Pada pemeriksaan menghitung jenis sel yaitu digunakan untuk membedakan dua golongan jenis sel yaitu, golongan yang berinti satu yang disebut Limfosit, sedangkan golongan sel polinuklear atau segmen. Perbandingan banyaknya sel dalam golongan-golongan itu memberi petunjuk ke arah jenis yang menyebabkan eksudat. Jumlah sel yang dihitung sekitar 100 sel (Gandasoebrata, 2010).

















BAB III
METODOLOGI


3.1  Alat dan Bahan
Ø  Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
v  Alat
Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan makroskopis cairan pleura ini adalah Gelas ukur, pipet tetes, refraktometer, kertas pH universal dan gelas beaker.
v  Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan makroskopis cairan pleura ini adalah sampel cairan pleura A1 dan B1.

Ø  Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
v  Alat
Peralatan yang digunkan dalam pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini adalah pipet thoma leukosit, bak pewarnaan, pipet tetes, kamar hitung dan penutup, kaca obyek, cover glass, dan mikroskop.
v  Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini adalah sampel cairan pleura A1 dan B1, larutan buffer pH 6,4 , larutan turk, larutan giemsa, dan larutan metanol.

Ø  Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura metode Rivalta dan Esbach
v  Alat
Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan kimia cairan pleura ini adalah gelas beaker, refraktometer, pipet tetes, dan pipet pasteur.
v  Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan kimia cairan pleura ini adalah asam asetat glasial, aquadest, dan sampel cairan pleura A1 dan B1.
3.2. Prosedur Kerja
3.2.1 Pemeriksaan Makroskopis
1.    Volume
 








2.    Warna
 





3.    Bau
 




                                       
4.    Berat Jenis
 







5.    Bekuan




3.2.2. Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
1. Hitung Jumlah Sel Leukosit







 












2.    Menghitung Jenis Leukosit
Rounded Rectangle: Sampel Pleura
 
 



















3.    Pemeriksaan Kimia Cairan Kimia
3.1 Uji Rivalta
 








                   
Rounded Rectangle: Sampel Pleura Rounded Rectangle: Hasil
-       Ditetapkan berat jenis cairan pleura terlebih dahulu
-       Dilakukan pengenceran 10x apabila berat jenis ≤ 5 – 10 kali
-       Dilakukan pengenceran 20x apabila berat jenis ≤ 10 – 20 kali
-       Ditentukan berat jenis cairan yang telah diencerkan
-       Dilakukan penetapan menurut Esbach dengan cairan yang telah diencerkan dengan rumus (Berat jenis – 1,007) x 343 = ......gr/dl
-       Dicatat hasilnya
 
3.2 Uji Protein metode Esbach







                                           



BAB IV
DATA HASIL PERCOBAAN


4.1 Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
Identitas pasien
·         Nama                  : A1
·         Kode sampel       : A1
·         Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017

Parameter
Hasil
Keterangan
1.   Volume
1,3 ml

2.   Warna dan kejernihan
Kuning jernih
Transudat
3.   Bau
Berbau (seperti nanah)
Eksudat
4.   Ph
9
Transudat
5.   Berat Jenis
1,067
Eksudat
6.   Bekuan
Tidak terdapat bekuan
Transudat

Identitas pasien
·         Nama                  : B1
·         Kode sampel       : B1
·         Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017

Parameter
Hasil
Keterangan
1.   Volume
1,7 ml

2.   Warna dan kejernihan
Merah - keruh
Darah - eksudat
3.   Bau
Berbau (amis)
Eksudat
4.   Ph
10
Transudat
5.   Berat Jenis
1,068
Eksudat
6.   Bekuan
Terdapat bekuan
Eksudat, kepingan


4.2 Pemeriksaan Kimia
Identitas pasien
·         Nama                  : A1
·         Kode sampel       : A1
·         Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017

Parameter
Hasil
Keterangan
·         Uji rivalta
Positif lemah
Transudat
·         Protein
(1,008-1,007) x 343 = 0,343 gr/protein
Transudat


Identitas pasien
·         Nama  : B1
·         Kode sampel   : B1
·         Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017

Parameter
Hasil
Keterangan
·         Uji rivalta
Positif kuat
Eksudat
·         Protein
(1,008-1,007) x 343 = 0,686 gr/protein
Transudat

4.3 Pemeriksaan Hitung Jumlah Leukosit
Identitas pasien
·         Nama                  : A1                                     - Nama                        : B1     
·         Kode sampel       : A1                                     - Kode sampel             : B1
·         Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
                 N =  =
                          =   
                          = 17775 

 
 


                 N =  =
                                =      
                                = 650

4.4 Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit
Identitas pasien
·         Nama                  : x
·         Kode sampel       : x
·         Tanggal pemeriksaan : 29 Maret 2017

Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Neutrofil stab
-
1
-
-
1
-
-
-
-
-
2
Neutrofil segmen
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Eusinofil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Basofil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Limfosit
9
8
6
5
9
8
9
9
10
9
83
Monosit
1
1
4
5
-
2
-
1
-
1
15
Jumlah
100

Total persentase hitung jenis leukosit :
-      Neutrofil   : 2%          ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-       Limfosit    : 83%        ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-       Monosit    : 15%        ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-       Sampel X merupakan eksudat



Identitas pasien
·         Nama                  : Y
·         Kode sampel       : Y
·         Tanggal pemeriksaan : 29 Maret 2017

Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Neutrofil stab
-
-
1
3
-
1
1
-
-
-
6
Neutrofil segmen
-
-
-
-
-
2
-
1
1
2
6
Eusinofil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Basofil
-
-
-
-
-
-
5
-
-
-
5
Limfosit
7
10
10
6
10
6
4
9
9
8
80
Monosit
-
-
-
1
1
1
-
-
-
-
3
Jumlah
100

Total persentase hitung jenis leukosit :
-      Neutrofil stab                        : 6%     ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-      Neutrofil segmen      : 6%     ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-      Basofil                       : 5%     ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-       Limfosit                     : 83%   ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-       Monosit                     : 3%     ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
·         Sampel Y merupakan eksudat

·         Pemeriksaan cadangan yang telah dilakukan yaitu pemeriksaan warna dan kejernihan cairan pleura :
Sampel X : berwarna merah dan agak keruh (eksudat)
Sampel Y : berwarna merah dan agak keruh (eksudat)



BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Prinsip Percobaan
5.1.1 Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
     - Volume           : volume eksudat dan transudat diukur dengan gelas ukur dan hasilnya dibaca setinggi meniskus bawah
· Warna dan Kejernihan : menggambarkan warna cairan pleura dengan latar belakang cahaya
· Bau                 : cairan dibau dengan indra penciuman (hidung)
· Berat Jenis      : pemeriksaan berat jenis transudat-eksudat harus segera   dilakukan pengukuran sebelum terjadinya bekuan dan diukur dengan menggunakan refraktometer
· Bekuan           : bekuan tersusun dari fibrin dan hanya terdapat pada eksudat
· pH                   : pemeriksaan pH dilakukan dengan menggunakan pH universal
5.1.2 Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
·      Uji Rivalta
          Metode : Rivalta
          Prinsip : seremusin hanya terdapat pada eksudat yang akan bereaksi dengan asam asetat encer membentuk kekeruhan yang nyata.
·      Uji Protein
Metode  : Esbach
Prinsip   : penentuan kadar protein berdasarkan berat jenis cairan pleura.

5.1.3 Pemeriksaan Mikroskopis cairan pleura
·         Hitung Jumlah Leukosit
Metode  : -
       Prinsip   : Cairan pleura diencerkan dalam pipet thoma leukosit, dan dimasukkan didalam kamar hitung dan dihitung dengan faktor konversi sehingga jumlah/mikroliter dapat diperhitungkan.
·         Hitung Jenis Leukosit
Metode  : Hapusan
Prinsip   : setetes cairan pleura dibuat hapusan pada kaca objek kemudian dicat dan dilihat dibawah mikroskop
           
5.2 Analisa Prosedur
·         Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
          Pemeriksaan makroskopis cairan pleura ini dilakukan dengan beberapa uji, yakni uji volume, warna dan kejernihan, bau, berat jenis dan bekuan. Uji volume cairan pleura dilakukan dengan cara menuangkan cairan pleura kedalam gelas ukur, kemudian dilihat volume yang nampak pada gelas ukur pada meniskus bagian bawah sebagai nilai ketepatan cairan pleura. Uji volume dilakukan untuk mengetahui banyaknya cairan pleura menandakan tingkat kerusakan paru-paru.
          Selanjutnya, uji warna dan kejernihan cairan pleura dilakukan dengan menuangkan cairan pleura ke dalam tabung reaksi, lalu diamati warna serta kejernihan secara visual dengan latar belakang cahaya untuk melihat keruh atau tidaknya cairan pleura. Uji warna dan kejernihan cairan pleura dilakukan untuk membedakan jenis efusi pleura, yakni transudat atau eksudat.
          Pemeriksaan lanjutan ialah dilakukan uji bau pada cairan pleura dengan cara sampel cairan pleura dituangan pada wadah terbuka, selanjutnya cairan didekatkan ke arah hidung dengan cara dikibaskan dengan tangan ke arah hidung, tujuannya ialah agar bau terkena angin dan bau dapat dirasakan denga indera penciuman. Uji bau cairan pleura dilakukan untuk membedakan jenis efusi pleura, yakni transudat atau eksudat (Gandasoebrata, 2010).
          Selanjutnya, dilakukan uji berat jenis cairan pleura dengan cara mengkalibrasi refraktometer dengan aquades terlebih dahulu dengan BJ 1,000, tujuannya ialah untuk menormalkan atau membersihkan debu serta memastikan bahwa refraktrometer dapat digunakan dengan baik. Kemudian, dibersihkan dengan tisu secara (searah), hal ini dilakukan untuk mengeringkan refraktometer dari aquades dan dilakukan searah sebab agar tidak lecet pada bagian prisma refraktometer. Selanjutnya, diteteskan satu tetes cairan pleura pada lensa refraktometer lalu ditutup dan dibaca skala pada cahaya terang, garis berat jenis terdapat pada bagian kiri lensa. Kemudian diputar mikrometer guna memperjelas angka yang terlihat setelah selesai dibersihkan dengan tisu. Selanjutnya dilakukan uji bekuan pada cairan pleura pada pot sampel dan diperhatikan terjadinya bekuan, adanya bekuan menunjukkan terjadinya eksudat.
Uji makroskopis selanjutnya ialah pemeriksaan Ph cairan pleura dilakukan dengan cara memasukkan cairan pleura kedalam tabung reaksi dan dimasukkan pH universal kedalam tabung reaksi serta dibandingkan dengan standar. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengindikasikan adanya kelainan pada cairan pleura (Kurniawan, 2014).
·         Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
          Pemeriksaan kimia cairan pleura terdiri dari dua uji, yakni uji rivalta dan uji protein metode Esbach. Uji Rivalta dilakukan dengan cara memasukkan 10 ml aquades ke dalam gelas beaker, kemudian ditambahkan 1 tetes asam asetat glasial dan diaduk dengan batang pengaduk agar homogen dan merata. Selanjutnya ditambahkan 1 tetes cairan pleura diteteskan dengan jarak 1 cm dari atas permukaan cairan, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui adanya reaksi antara larutan asam dengan cairan pleura dan diamati dengan background hitam sebab reaksi positif akan memberikan warna putih seperti kabut didalam larutan asam asetat glasial (Gandasoeebrata, 2010).
          Pemeriksaan lainnya ialah uji protein dengan metode Esbach yang dilakukan dengan ditetapkan berat jenis cairan pleura yang sebelumnya telah dilakukan, kemudian mengencerkan cairan pleura bila berat jenisnya ≤ 1,000 dengan aquades 5 – 10 kali dan bila berat jenisnya ≥ 1,010 maka diencerkan dengan aquades sebanyak 20 kali. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk memudahkan perhitungan dengan penetapan menurut Esbach. Setelah mengencerkan berat jenis cairan pleura dilakukan pengukuran berat jenis seperti sebelumnya. Setelah didapatkan berat jenis dari hasil pengukuran dilakukan perhitungan menurut ketetapan Esbach dengan rumus :
(Berat Jenis – 1,007) x 343 = . . . . .  gr protein/100ml
(Kurniawan, 2014).
·         Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
          Pemeriksaan lanjutan ialah uji mikroskopis pada cairan pleura yakni, hitung jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit. Hitung jumlah leukosit dilakukan untuk mengetahui banyaknya leukosit pada cairan pleura yang mengindikasikan cairan tersebut eksudat ataupun transudat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengisi pipet leukosit dengan cairan pleura terlebih dahulu, percobaan ini dilakukan dengan menghisap cairan pleura dengan pipet thoma leukosit sampai tanda 0,5 lalu dihapus kelebihan cairan pleura dengan tisu. Selanjutnya dimasukkan pipet kedalam larutan turk hingga dengan 11, kemudian dikocok pipet selama 15 – 30 detik untuk menghomogenkan larutan Turk dengan cairan pleura. Kemudian mengisi kamar hitung dengan larutan tersebut dengan cara meletakkan kamar hitung yang bersih dengan kaca penutup yang terpasang mendatar. Lalu, pipet dikocok selama 3 menit dan dibuang cairan pada pipet leukosit 3 – 4 tetes, kemudian ujung pipet disentuhkan pada permukaan kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup dan kamar hitung dibiarkan selama 2 – 3 menit agar leukosit mengendap (Kurniawan, 2016).
          Pemeriksaan uji mikroskopis selanjutnya ialah pemeriksaan hitung jenis leukosit. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui jenis sel leukosit dalam cairan pleura sehingga dapat ditentukan jenis cairan tersebut (eksudat / transudat). Pemeriksaan ini dilakukan mula – mula membuat sediaan apusan cairan pleura terlebih dahulu dengan menyiapkan kaca objek yang bersih dan bebas lemak agar hasil apusan tipis dan tidak berlubang – lubang serta memperjelas saat dilakukan pengamatan (Gandasoebrata, 2010). Kemudian, diteteskan 1 tetes cairan pleura diatas kaca objek dan dengan kaca objek lainnya dipegeng dengan kanan kanan diletakkan diatas cairan pleura tersebut. Kemudian, menggeser kaca objek ke arah atas hingga menyebar merata terbentuk hapusan cairan pleura yang tipis. Selanjutnya dilakukan pewarnaan pada apusan cairan pleura tersebut, tujuannya adalah untuk memudahkan pengematan bentuk morfologi jenis leukosit dan dapat dibedakan antara jenis yang satu dengan yang lain. Pewarnaan dilakukan dengan dua mcam cat yakni cat Giemsa dan cat Wright. Pewarnaan dengan cat Giemsa dilakukan pada sampel X dengan cara meletakkan sediaan apusan darah sampel X yang telah kering diatas bak pewarnaan, lalu diteteskan metanol hingga memenuhi seluruh apusan dan dibiarkan selama 5 menit. Penambahan metanol bertujuan untuk memfiksasi apusan cairan pleura dan dilakukan hanya dalam waktu 5 menit sebab, terlalu lama waktu fiksasi akan menyebabkan rusaknya sel – sel didalam cairan pleura.  Selanjutnya dibuang kelebihan metanol pada bek permukaan dan diteteskan cat Giemsa pada apusan cairan pleura selama 20 menit, tujuannya untuk memberikan warna pada sel – sel cairan pleura sehingga dapat dibedakan dan dibiarkan selama 20 menit agar larutan cat Giemsa dapat merasuk kedalam sel. Selanjutnya dibilas sisa – sisa cat Giemsa dengan aquades untuk menghilangkan sisa – sisa cat pada apusan cairan pleura dan dibiarkan mengering diudara sehingga dapat dilakukan pengamatan dibawah mikroskop (Kurniawan, 2014). Pemeriksaan jenis sel leukosit pada sampel Y dilakukan dengan pewarnaan cat Wright. Pewarnaan ini dilakukan dengan meneteskan sebanyak 20 tetes cat Wright pada apusan cairan pleura yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, dibiarkan selama 15 menit tujuannya agar cat Wright dalam meresap kedalam sel – sel cairan pleura sehingga untuk memudahkan saat pengamatan. Selanjutnya diteteskan larutan penyangga (buffer phospat) pH 6,4 sejumlah sama dengan tetesan Wright dan dibiarkan selama 5 – 12 menit. Penambahan larutan penyangga bertujuan untuk menjaga konsistensi bentuk sel pada cairan pleura sehingga tidak rusak dan mudah saat pengamatan. Lalu, dibilas sediaan apusan darah yang telah dicat dengan aquades untuk menghilangkan sisa – sisa cat pada apusan cairan pleura. Selanjutnya dibiarkan mengering diudara sehingga dapat dilakukan pengamatan dibawah mikroskop (Gandasoebrata, 2010).


5.3 Analisa Hasil

5.3.1 Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan yakni pemeriksaan volume cairan pleura pada sampel A1 didapatkan sebanyak 1,3 ml dan sampel B1 sebanyak 1,7 ml. Menurut literatur dari Denny (2012) cairan efusi pleura normalnya setidaknya berisi 10 – 20 cc, lebih dari itu merupakan gangguan pada patofisiologis pada paru.  Menurut literatur tersebut dinyatakan bahwa cairan pleura pada kedua sampel dinyatakan masih normal, namun ketidaksesuaian tersebut diakibatkan karena sampel yang diterima bukan langsung diambil melalui paru dan langsung diperiksan, namun hasil sebagian dari sampel cairan pleura yang yang telah diambil. Sehingga praktikan tidak dapat memastikan cairan pleura tersebut bermasalah atau tidak, sehingga dilakukan uji lanjutan yang lainnya. Menurut Kurniawan (2014) bahwa semakin banyak cairan pleura yang terdapat pada paru menandakan tingkat kerusakan pada paru – paru. Berdasarkan literatur dari Denny (2012) Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura (Price dan Lorraine, 2005).
Pemeriksaan makroskopis selanjutnya ialah uji warna dan kejernihan cairan pleura, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengamati adanya kelainan pada warna dan kejernihan cairan pleura. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan pada sampel A1 berwarna kuning pekat jernih dan pada sampel B1 berwarna merah keruh. Menurut literatur dari Kurniawan (2014) bahwa normalnya cairan pleura adalah bening dan jernih. Cairan efusi pleura dinyatakan sebagai transudat apabila ditandai dengan warna kuning muda jernih. Sedangkan apabila cairan efusi pleura tersebut adalah eksudat maka cairan agak keruh dan memiliki warna warna yang berbeda – beda tergantung pada penyebabnya, biasanya warna cairan eksudat dikarenakan oleh adanya proses inflamasi dan beratnya peradangan yang terjadi. Apabila cairan eksudat berwarna kuning menandakan adanya bilirubin, apabila cairan eksudat berwarna merah maka terdapat darah didalamnya, jika cairan eksudat berwarna putih – kekuningan dan keruh maka terdapat pus (nanah), bila cairan eksudat berwarna biru – kehijauan disebabkan adanya B. pyocianeus dan apabila cairan eksudat berwarna putih susu maka menandakan adanya kilus. Kekeruhan pada cairan eksudat disebabkan oleh adanya kuantitas jumlah sel leukosit dapat mengakibatkan kekeruhan mulai tingkat ringan sampai berat seperti bubur. Sedangkan eritrosit menyebabkan kekeruhan berwarna kemerahan (Gandasoebrata, 2010). Berdasarkan literatur tersebut, maka sampel A1 dinyatakan sebagai cairan transudat dan sedangkan sampel cairan pleura B1 merupakan eksudat sebab cairannya keruh, dan berwarna merah karena adanya eritrosit didalamnya.
Hasil pemeriksaan makroskopis bau yang telah dilakukan pada sampel A1 ialah berbau seperti nanah (pus), sedangkan sampel B1 ialah berbau amis seperti darah. Menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) normalnya cairan pleura ialah tidak berbau, umumnya baik transudat maupun eksudat tidak memiliki bau yang khas, kecuali saat terjadinya pembusukan protein dan adanya infeksi kuman E. coli menyebabkan bau busuk pada cairan pleura. Biasanya cairan transudat tidak berbau dan cairan eksudat ialah berbau. Berdasarkan literatur tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sampel A1 dan B1 merupakan eksudat, sebab kedua sampel memiliki bau yang kuat saat dilakukan percobaan pembauan dengan hidung.
 Hasil pemeriksaan makroskopis berat jenis cairan pleura yang telah dilakukan pada sampel A1 ialah 1,067 dan sampel B1 ialah 1,068. Menurut literatur dari Kurniawan (2014) ialah umumnya cairan pleura yang dinyatakan sebagai transudat memiliki berat jenis < 1,018 (1,006 – 1,015) dan cairan pleura dinyatakan sebagai eksudat apabila memiliki berat jenis melebihi 1,018 (1,018 – 1,030). Berdasarkan literatur tersebut, kedua cairan efusi pleura dinyatakan sebagai eksudat, namun masih meragukan sebab hasil yang didapatkan melebihi standar yang telah ditetapkan, mengingat kemungkinan karena sampel yang diperiksa tidak diperoleh langsung saat pengambilan sehingga cairan efusi pleura kemungkinan sebagian telah menjadi bekuan, sehingga mempengaruhi tingginya berat jenis. Hal tersebut didukung oleh literatur dari Gandasoebrata (2010) yakni pemeriksaan berat jenis cairan efusi pleura harus segera dilakukan / ditentukan, sebelum memungkinkan cairan pleura tersebut terjadi bekuan yang mempengaruhi hasil berat jenis yang semakin besar menyebabkan kesalahan saat menetapkan diagnosa.
Hasil pemeriksaan makroskopis bekuan yang telah dilakukan pada sampel efusi cairan pleura A1 ialah tidak adanya bekuan, sedangkan sampel efusi cairan pleura B1 ialah terdapat bekuan berbentuk kepingan yang besar berwarna merah. Berdasarkan literatur dari Gandasoebrata (2010) bahwa biasanya cairan transudat tidak terdapat bekuan didalamnya, namun pada cairan eksudat cairan pleura terdapat bekuan yang dinyatakan sebagai renggang, berkeping, sangat halus dan lainnya. Bekuan terbentuk dan tersusun karena adanya fibrin didalam cairan efusi pleura yang hanya didapatkan pada cairan eksudat. Berdasarkan hasil dan literatur tersebut ialah sesuai, dimana sampel A1 merupakan transudat dan cairan B1 merupakan eksudat, sebab adanya bekuan yang berbentuk kepingan.
Hasil pemeriksaan makroskopis pengukuran pH yang telah dilakukan pada sampel A1 adalah 9, sedangkan pH pada sampel B1 ialah 10. Menurut liteatur dari Kurniawan (2014) menyatakan bahwa pH cairan transudat efusi pleura ialah > 7,13 sedangkan pH cairan eksudat efusi pleura ialah < 7,13 disebabkan adanya perombakan dan metabolisme beberapa bakteri yang menyebabkan pH cairan eksudat cenderung bersifat asam. Berdasarkan hasil dan literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kedua cairan merupakan transudat.

5.1.3 Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
            Pemeriksaan kimia cairan pleura hanya dilakukan pada sampel A1 dan B1. Hasil pemeriksaan kimia  uji Rivalta pada sampel A1 memberikan hasil positif lemah, sebab tetesan tersebut membentuk kekeruhan berupa kabut halus atau dinyatakan sebagai transudat. Sedangkan pada sampel B1 memberikan hasil positif kuat, sebab tetesan tersebut membentuk kekeruhan berupa kabut tebal atau dinyatakan sebagai eksudat. Menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) yakni interpretasi hasil pemeriksaan uji rivalta dibagi menjadi 3 kemungkinan, yaitu :
·         Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam asetat tanpa adanya kekeruhan, maka hasilnya ialah negatif.
·         Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam asetat membentuk kekeruhan yang sangat ringan yaitu berupa kabut halus maka memberikan hasil positif lemah atau dinyatakan sebagai transudat.
·         Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam asetat membentuk kekeruhan yang nyata yaitu berupa kabut tebal atau berupa presipitat maka memberikan hasil positif kuat atau dinyatakan sebagai eksudat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan cairan efusi pleura pada sampel A1 dan B1 serta literatur yang didapatkan ialah sesuai. Maka dapat disimpulkan bahwa cairan efusi pleura A1 adalah transudat dan cairan efusi pleura B1 adalah eksudat.
            Pemeriksaan kimia cairan pleura selanjutnya pada sampel A1 dan B1 ialah uji protein dengan metode Esbach didapatkan sampel A1 sebanyak 0, 343 gr protein /  ml. Sedangkan sampel B1 didapatkan sebanyak 0,686 gr protein /  ml. Menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) menentukan kadar protein dalam cairan rongga tubuh dapat membantu dalam membedakan cairan tersebut merupakan transudat atau eksudat. Protein dalam transudat atau eksudat umumnya hanya terdapat fibrinogen. Umumnya kadar protein transudat biasanya rendah yakni kurang dari 2,5 gr protein / 100 ml (gr/dl) sedangkan cairan eksudat biasanya berisi lebih dari 4 gr/dl. Berdasarkan percobaan pemeriksaan uji protein metode Esbach sampel A1 dan B1 dinyatakan sebagai transudat, sebab kadar protein yang didapat saat pengujian dibawah 2,5 gr/dl.
            Berdasarkan serangkaian pemeriksaan makroskopis dan kimia yang dilakukan pada sampel A1 dan B1. Sampel cairan pleura A1 merupakan cairan transudat sebab berbagai uji yang telah dilakukan menunjukkan perbandingan antara transudat : eksudat = 5 : 2. Menurut literatur dari Halim (2001) dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
5.    Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
6.    Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
7.    Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
8.    Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
  1. Gagal jantung kiri (terbanyak)
  2. Sindrom nefrotik
  3. Obstruksi vena cava superior
  4. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening).
Sedangkan Sampel cairan pleura B1 merupakan cairan eksudat sebab berbagai uji yang telah dilakukan menunjukkan perbandingan antara eksudat : transudat ialah 5 : 2. Menurut literatur dari Price dan Lorraine (2005) yakni Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
  1. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
  2. Tumor pada pleura
  3. Iinfark paru,
  4. Karsinoma bronkogenik
  5. Radiasi,
  6. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

5.1.3 Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
Pemeriksaan mikroskopis cairan pleura dilakukan pada sampel yang berbeda yakni sampel X dan sampel Y, sebab sampel yang didapat dan tanggal pengambilannya berbeda. Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan pada sampel ialah hitung jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.  Hasil pemeriksaan hitung jumlah leukosit pada sampel X didapatkan sebanyak 650 sel/ul. Sedangkan hitung jumlah leukosit pada pada sampel Y didapatkan sebanyak 17.775 sel/ul, kedua sampel dilakukan perhitungan jumlah leukosit sebab kedua cairan tidak bersifat purulen. Menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) yakni, apabila cairan berupa purulen, maka tidak ada gunanya untuk menghittung jumlah leukosit, pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila cairan bersifat jernih atau agak keruh. Cairan transudat biasanya mengandung kurang dari 500 sel/ul sel leukosit. Semakin tinggi nilai angka yang didapatkan maka semakin besar kemungkinan cairan tersebut bersifat eksudat. Berdasarkan hasil yang didapat dan literatur, maka dapat disimpulkan bahwa kedua sampel cairan pleura tersebut merupakan eksudat, sebab jumlah sel leukosit melebihi 500 sel/ul.
Pemeriksaan mikroskopis pada sampel X dan Y selanjutnya ialah hitung jenis leukosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit pada sampel X ialah didapatkan neutrofil 2% (sel leukosit PMN/segmen), limfosit 83% (sel leukosit mononukleat), dan monosit 15% (sel leukosit mononukleat). Sedangkan pada sampel Y ialah didapatkan neutrofil stab 6% (sel leukosit PMN/segmen), neutrofil segmen 6% (sel leukosit PMN/segmen), basofil 5% (sel leukosit PMN/segmen), limfosit 80% (sel leukosit mononukleat) dan monosit 3% (sel leukosit mononukleat). Menurut literatur dari Kurniawan (2014) yakni hitung jenis ini hanya untuk membedakan limfosit den sel leukosit segmen. Hitung jenis leukosit dapat memberi keterangan tentang jenis radang. Jenis yang menyertai proses radang akut hampir semuanya berupa sel leukosit PMN /  segmen, sedangkan radang menahun hanya menghasilkan sel limfosit saja dalam hitung sejenis. Perbandingan banyak sel dalam golongan limfosit dan sel polimorfonuklear atau segmen memberikan petunjuk ke arah radang yang menyebabkan atau menyertai eksudat. Hasil transudat apabila hanya ditemukan sel mononuklear (limfosit) sedangkan hasil eksudat apabila ditemukan sel mononuklear dan PMN / segmen. Pernyataan tersebut diperkuat oleh literatur menurut Bahar (2001) Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostic penyakit pleura, terutama bila ditemukan patologis atau dominasi sel – sel tertentu :
a.    Sel neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut
b.    Sel limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum.
c.    Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat adanya infark paru.biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
d.    Sel mesotel maligna: pada mesotelioma.
e.    Sel-sel besar dengan banyak inti: pada arthritis rheumatoid.
f.     Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan literatur tersebut sesuai sehingga dapat disimpulkan bahwa, kedua sampel merupakan eksudat dimana kedua sampel terdapat adanya neutrofil berarti adanya infeksi, adanya sel limfosit yang menunjukan adanya peradangan dan infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum (Bahar, 2001). Hasil kedua pemeriksaan mikroskopis cairan pleura tersebut telah menyatakan hasil eksudat, hal tersebut diperkuat uji makroskopis warna dan kejernihan cairan pleura, dimana hasil pemeriksaan makroskopis warna dan kejernihan kedua sampel ialah berwarna merah dan agak keruh yang menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) warna merah pada cairan efusi pleura dinyatakan sebagai eksudat, kekeruhan pada cairan eksudat disebabkan oleh adanya kuantitas jumlah sel leukosit dapat mengakibatkan kekeruhan mulai tingkat ringan sampai berat seperti bubur. Sedangkan eritrosit menyebabkan kekeruhan berwarna kemerahan.



BAB VI
KESIMPULAN

            Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan yakni pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan kimia dan pemeriksaan mikroskopis cairan efusi pleura dapat ditarik kesimpulan :
1.    Pemeriksaan makroskopis yang telah dilakukan meliputi volume, bau, warna dan kejernihan, pH, dan bekuan dapat disimpulkan bahwa sampel A1 merupakan transudat dan sampel B1 adalah eksudat.
2.    Pemeriksaan pemeriksaan kimia yang telah dilakukan, meliputi uji Rivalta dan uji Esbach dapat disimpulkan bahwa sampel A1 merupakan transudat dan sampel B1 adalah eksudat.
3.    Pemeriksaan mikroskopis yakni hitung jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit yang telah dilakukan pada sampel X dan sampel Y merupakan eksudat, hasil tersebut diperkuat dengan hasil pemeriksaan makroskopis warna dan kejernihan.


DAFTAR PUSTAKA

·         Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
·         Denny, Firdaus. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek : Bandar Lampung.
·         Gandasoebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat Agung.
·         Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
·         Kurniawan, F. B. 2015. Kimia Klinik : Praktikum Analis Kesehatan. Jakarta : EGC.
·         Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005.  Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta : EGC.
·         Smeltzer, C.S . 2002. Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta : EGC