BAB I
PENDAHULUHAN
1.1.
Latar Belakang
Efusi
cairan pleura adalah
pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari
permukaan pleura. Rongga
pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paruparu dan rongga dada, diantara permukaan
viseral dan parietal. Dalam keadaan normal,
rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura
parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada
waktu pernafasan. Jenis
cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti susu dan
cairan yang mengandung kolesterol tinggi (Price dan Lorraine, 2005).
Pada negara-negara
barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif,
sirosis hati, keganasan, dan pneumonia
bakteri, sementara di negara-negara yang sedang
berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Efusi pleura keganasan
merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita
keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi
pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60%
penderita keganasan pleura primer atau metastatic (Price dan Lorraine, 2005).
Berdasarkan hal
tersebut, maka perlunya menegakkan diagnosa percobaan pemeriksaan cairan pleura
secara makroskopis, kimia dan mikroskopis untuk mengetahui adanya kelainan
patofisiologis cairan pleura, yang selengkapnya akan dibahas pada pemeriksaan
yang dilakukan pada percobaan kali ini.
1.2.
Rumusan
masalah
Rumusan masalah
dalam praktikum ini adalah
1.
Bagaimana
pemeriksaan cairan pleura secara makroskopis?
2.
Bagaimana
pemeriksaan cairan pleura secara kimia?
3.
Bagaimana pemeriksaan
cairan pleura secara mikroskopis?
1.3.
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah
1.
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura
secara makroskopis.
2.
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura
dengan kimia.
3.
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan cairan pleura
secara mikroskopis.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura
yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi cairan pleura adalah penimbunan cairan
pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana
terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran cairan pleura (Smeltzer, 2002).
Pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis,
sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan
dengan mulus. Dalam
keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,
kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5
gr/dl (Bahar, 2001).
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura
2.2.1. Anatomi
Pleura
Pleura merupakan membran
tipis yang terdiri atas dua lapisan yang berbeda, yaitu pleura viseralis dan
pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam
beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini, sebagai berikut :
1. Pleura
Viseralis
Bagian
permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya
tidak lebih dari 30 μm), di antara celah-celah sel ini terdapat beberapa sel
limfosit. Terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit dibawah sel
mesotelial. Struktur lapisan tengah memiliki jaringan kolagen dan serat-serat
elastik, sedangkan lapisan terbawah tedapat jaringan interstisial subpleura
yang sangat banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri pulmonalis dan
brakialis serta kelenjar getah bening. Keseluruhan jarigan pleura viseralis ini
menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru.
2. Pleura
Parietalis
Lapisan
pleura parietalis merupakan lapisan jaringan yang lebih tebal dan terdiri atas
sel-sel mesotelial serta jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat-serat
elastik). Dalam jaringan ikat ini terdapat pembuluh kapiler dari arteri
interkostalis dan mammaria interna, kelenjar getah bening, banyak reseptor
saraf sensorik yang peka terhadap rasa nyeri. Di tempat ini juga terdapat
perbedaan temperature. Sistem pernafasan berasal dari nervus interkostalis 4
dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Keseluruhan jaringan
pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tetapi juga mudah dilepaskan dari
dinding dada di atasnya (Smeltzer, 2002).
2.2.2 Fisiologi
Cairan
pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan pleura
viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan
paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling
melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan
yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan
bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap
kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan
membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat
cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang
pleura (Halim, 2001).
Selisih perbedaan
absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh
pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura
parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di
dalam rongga pleura (Halim, 2001).
2.3.
Etiologi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan
cairan dan kimiawi cairan menjadi 2
yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan
antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah
hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam
beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat
dan eksudat.
Ø Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a.
Transudat
Keadaan normal cairan pleura yang
jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi
ketidakseimbangan antara
tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan
pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1.
Meningkatnya
tekanan kapiler sistemik
2.
Meningkatnya
tekanan kapiler pulmoner
3.
Menurunnya
tekanan koloid osmotic dalam pleura
4.
Menurunnya
tekanan intra pleura
Ø
Penyakit-penyakit
yang menyertai transudat adalah:
a.
Gagal
jantung kiri (terbanyak)
b.
Sindrom
nefrotik
c.
Obstruksi
vena cava superior
d.
Asites
pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui
saluran getah bening) (Halim, 2001).
b.
Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk
melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan
dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam
cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan
menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan
eksudat.
Penyakit
yang menyertai eksudat, antara lain:
a.
Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
b.
Tumor pada pleura
c.
Iinfark paru,
d.
Karsinoma bronkogenik
e.
Radiasi,
f.
Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).
2.4 Pemeriksaan Cairan Pleura
2.4.1. Makroskopis Cairan Pleura
Pada pemeriksaan cairan pleura ini meliputi : jumlah,
warna, kerjernihan, bau, berat jenis, dan bekuan. Pada pemeriksaan ini akan
membedakan yang tergolong cairan transudat dan cairan eksudat.
Transudat terjadi sebagai akibat proses bukan radang oleh
gangguan kesetimbangan cairan badan (tekanan osmosis koloid, stasis dalam
kapiler atau tekanan hidrostatik, kerusakan endotel). Pemeriksaan cairan transudat
ini yaitu transudat dengan ciri-ciri transudat spesifik : cairan jernih, encer,
kuning muda, berat jenis 1010 atau setidak-tidaknya kurang dari 1018, tidak
menyusun bekuan (tidak ada fibrinogen), kadar protein kurang dari 2,5 g/dl,
kadar glukosa kira-kira sama seperti dalam plasma darah, jumlah sel, dan
bersifat steril.
Eksudat berkaitan dengan salah satu proses peradangan.
Pemeriksaan cairan eksudat dengan ciri-ciri eksudat spesifik : keruh
(berkeping-keping, purulent, mengandung darah, chyloid), kental, warna
bermacam-macam, berat jenis lebih dari 1018, sering ada bekuan (oleh
fibrinogen), kadar protein lebih dari 4,0 g/dl, kadar glukosa jauh kurang dari
kadar dalam plasma darah (Gandasoebrata, 2010).
2.4.2. Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
Pada pemeriksaan kimia cairan pleura meliputi kadar
glukosa dan protein dalam cairan itu. Cairan rongga dalam keadaan normal
mempunyai susunan plasma darah tanpa albumin dan globulin-globulin. Transudat
mempunyai kadar glukosa sama seperti plasma, sedangkan untuk cairan eksudat
mengandung banyak leulkosit. Pada pengujian protein dalam transudat yaitu
fibrinogen dalam transudat kadarnya rendah sekitar antara 300-400 mg/dl dan
dalam eksudat kadar protein sekitar 4-6 g/dl atau lebih tinggi (Gandasoebrata,
2010).
2.4.3. Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
Pada pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini meliputi :
menghitung jumlah leukosit dan menghitung jenis sel. Pada pemeriksaan
menghitung jumlah leukosit ini menggunkan pengenceran seperti menghitung jumlah
leukosit dalam darah. Bahan pengenceran yang digunakan yaitu larutan NaCl 0,9%.
Pada cairan transudat mengandung sekitar kurang dari 500 sel/ul, jika semakin
tinggi angka maka semakin besarcairan tersebut disebut cairan eksudat.
Pada pemeriksaan menghitung jenis sel yaitu digunakan
untuk membedakan dua golongan jenis sel yaitu, golongan yang berinti satu yang
disebut Limfosit, sedangkan golongan sel polinuklear atau segmen. Perbandingan
banyaknya sel dalam golongan-golongan itu memberi petunjuk ke arah jenis yang
menyebabkan eksudat. Jumlah sel yang dihitung sekitar 100 sel (Gandasoebrata,
2010).
BAB III
METODOLOGI
3.1
Alat dan Bahan
Ø Pemeriksaan
Makroskopis Cairan Pleura
v Alat
Peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan makroskopis cairan pleura ini adalah Gelas ukur, pipet tetes,
refraktometer, kertas pH universal dan gelas beaker.
v Bahan
Bahan yang digunakan dalam
pemeriksaan makroskopis cairan pleura ini adalah sampel cairan pleura A1 dan
B1.
Ø Pemeriksaan
Mikroskopis Cairan Pleura
v Alat
Peralatan yang digunkan dalam
pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini adalah pipet thoma leukosit, bak
pewarnaan, pipet tetes, kamar hitung dan penutup, kaca obyek, cover glass, dan
mikroskop.
v Bahan
Bahan yang digunakan dalam
pemeriksaan mikroskopis cairan pleura ini adalah sampel cairan pleura A1 dan
B1, larutan buffer pH 6,4 , larutan turk, larutan giemsa, dan larutan metanol.
Ø Pemeriksaan
Kimia Cairan Pleura metode Rivalta dan Esbach
v Alat
Peralatan yang digunakan dalam
pemeriksaan kimia cairan pleura ini adalah gelas beaker, refraktometer, pipet
tetes, dan pipet pasteur.
v Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan kimia cairan
pleura ini adalah asam asetat glasial, aquadest, dan sampel cairan pleura A1
dan B1.
3.2. Prosedur
Kerja
3.2.1 Pemeriksaan
Makroskopis
1. Volume
![]() |
2.
Warna

![]() |
3. Bau
![]() |
4.
Berat
Jenis

5.
Bekuan

3.2.2. Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura

![]() |
2. Menghitung Jenis Leukosit
![]() |

3. Pemeriksaan Kimia Cairan Kimia
3.1 Uji Rivalta




|
3.2 Uji Protein
metode Esbach
BAB IV
DATA HASIL PERCOBAAN
4.1 Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
Identitas pasien
·
Nama :
A1
·
Kode sampel :
A1
·
Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
1. Volume
|
1,3 ml
|
|
2. Warna dan kejernihan
|
Kuning jernih
|
Transudat
|
3. Bau
|
Berbau (seperti
nanah)
|
Eksudat
|
4. Ph
|
9
|
Transudat
|
5. Berat Jenis
|
1,067
|
Eksudat
|
6. Bekuan
|
Tidak terdapat
bekuan
|
Transudat
|
Identitas pasien
·
Nama :
B1
·
Kode sampel :
B1
·
Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
1. Volume
|
1,7 ml
|
|
2. Warna dan kejernihan
|
Merah - keruh
|
Darah - eksudat
|
3. Bau
|
Berbau
(amis)
|
Eksudat
|
4. Ph
|
10
|
Transudat
|
5. Berat Jenis
|
1,068
|
Eksudat
|
6. Bekuan
|
Terdapat bekuan
|
Eksudat,
kepingan
|
4.2 Pemeriksaan Kimia
Identitas pasien
·
Nama :
A1
·
Kode sampel :
A1
·
Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
·
Uji rivalta
|
Positif lemah
|
Transudat
|
·
Protein
|
(1,008-1,007) x 343 = 0,343
gr/protein
|
Transudat
|
Identitas pasien
·
Nama : B1
·
Kode sampel : B1
·
Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
·
Uji rivalta
|
Positif kuat
|
Eksudat
|
·
Protein
|
(1,008-1,007) x
343 = 0,686 gr/protein
|
Transudat
|
4.3 Pemeriksaan Hitung Jumlah Leukosit
Identitas pasien
·
Nama :
A1 -
Nama : B1
·
Kode sampel :
A1 -
Kode sampel : B1
·
Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2017
|
N =
= 


=

= 650
4.4 Pemeriksaan
Hitung Jenis Leukosit
Identitas pasien
·
Nama :
x
·
Kode sampel :
x
·
Tanggal pemeriksaan : 29 Maret 2017
Jenis
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
∑
|
Neutrofil stab
|
-
|
1
|
-
|
-
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Neutrofil segmen
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Eusinofil
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Basofil
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Limfosit
|
9
|
8
|
6
|
5
|
9
|
8
|
9
|
9
|
10
|
9
|
83
|
Monosit
|
1
|
1
|
4
|
5
|
-
|
2
|
-
|
1
|
-
|
1
|
15
|
Jumlah
|
100
|
Total persentase
hitung jenis leukosit :
-
Neutrofil : 2% ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-
Limfosit : 83% ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-
Monosit : 15% ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-
Sampel X merupakan eksudat
Identitas pasien
·
Nama :
Y
·
Kode sampel :
Y
·
Tanggal pemeriksaan : 29 Maret 2017
Jenis
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
∑
|
Neutrofil stab
|
-
|
-
|
1
|
3
|
-
|
1
|
1
|
-
|
-
|
-
|
6
|
Neutrofil segmen
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
-
|
1
|
1
|
2
|
6
|
Eusinofil
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Basofil
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
5
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Limfosit
|
7
|
10
|
10
|
6
|
10
|
6
|
4
|
9
|
9
|
8
|
80
|
Monosit
|
-
|
-
|
-
|
1
|
1
|
1
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Jumlah
|
100
|
Total persentase
hitung jenis leukosit :
-
Neutrofil stab :
6% ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-
Neutrofil segmen :
6% ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-
Basofil :
5% ( Jenis sel leukosit PMN/Segmen )
-
Limfosit :
83% ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
-
Monosit :
3% ( Jenis sel leukosit Mononukleat )
·
Sampel Y merupakan eksudat
·
Pemeriksaan cadangan yang telah dilakukan yaitu
pemeriksaan warna dan kejernihan cairan pleura :
Sampel X : berwarna merah dan agak
keruh (eksudat)
Sampel Y : berwarna merah dan agak
keruh (eksudat)
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Prinsip Percobaan
5.1.1
Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
- Volume : volume eksudat dan transudat diukur
dengan gelas ukur dan hasilnya dibaca setinggi meniskus bawah
· Warna dan
Kejernihan : menggambarkan warna cairan pleura dengan latar belakang cahaya
· Bau : cairan dibau dengan indra
penciuman (hidung)
· Berat
Jenis : pemeriksaan berat jenis
transudat-eksudat harus segera
dilakukan pengukuran sebelum terjadinya bekuan dan diukur dengan menggunakan
refraktometer
· Bekuan : bekuan tersusun dari fibrin dan
hanya terdapat pada eksudat
· pH : pemeriksaan pH dilakukan
dengan menggunakan pH universal
5.1.2 Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
· Uji
Rivalta
Metode :
Rivalta
Prinsip : seremusin
hanya terdapat pada eksudat yang akan bereaksi dengan asam asetat encer
membentuk kekeruhan yang nyata.
·
Uji Protein
Metode : Esbach
Prinsip : penentuan kadar protein berdasarkan berat jenis cairan pleura.
5.1.3
Pemeriksaan Mikroskopis cairan pleura
·
Hitung Jumlah Leukosit
Metode : -
Prinsip : Cairan pleura diencerkan dalam pipet thoma
leukosit, dan dimasukkan didalam kamar hitung dan dihitung dengan faktor
konversi sehingga jumlah/mikroliter dapat diperhitungkan.
·
Hitung Jenis Leukosit
Metode : Hapusan
Prinsip : setetes cairan pleura dibuat hapusan pada
kaca objek kemudian dicat dan dilihat dibawah mikroskop
5.2 Analisa Prosedur
·
Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
Pemeriksaan
makroskopis cairan pleura ini dilakukan dengan beberapa uji, yakni uji volume,
warna dan kejernihan, bau, berat jenis dan bekuan. Uji volume cairan pleura
dilakukan dengan cara menuangkan cairan pleura kedalam gelas ukur, kemudian
dilihat volume yang nampak pada gelas ukur pada meniskus bagian bawah sebagai
nilai ketepatan cairan pleura. Uji volume dilakukan untuk mengetahui banyaknya
cairan pleura menandakan tingkat kerusakan paru-paru.
Selanjutnya,
uji warna dan kejernihan cairan pleura dilakukan dengan menuangkan cairan
pleura ke dalam tabung reaksi, lalu diamati warna serta kejernihan secara
visual dengan latar belakang cahaya untuk melihat keruh atau tidaknya cairan
pleura. Uji warna dan kejernihan cairan pleura dilakukan untuk membedakan jenis
efusi pleura, yakni transudat atau eksudat.
Pemeriksaan
lanjutan ialah dilakukan uji bau pada cairan pleura dengan cara sampel cairan
pleura dituangan pada wadah terbuka, selanjutnya cairan didekatkan ke arah
hidung dengan cara dikibaskan dengan tangan ke arah hidung, tujuannya ialah
agar bau terkena angin dan bau dapat dirasakan denga indera penciuman. Uji bau
cairan pleura dilakukan untuk membedakan jenis efusi pleura, yakni transudat
atau eksudat (Gandasoebrata, 2010).
Selanjutnya,
dilakukan uji berat jenis cairan pleura dengan cara mengkalibrasi refraktometer
dengan aquades terlebih dahulu dengan BJ 1,000, tujuannya ialah untuk
menormalkan atau membersihkan debu serta memastikan bahwa refraktrometer dapat
digunakan dengan baik. Kemudian, dibersihkan dengan tisu secara (searah), hal
ini dilakukan untuk mengeringkan refraktometer dari aquades dan dilakukan
searah sebab agar tidak lecet pada bagian prisma refraktometer. Selanjutnya,
diteteskan satu tetes cairan pleura pada lensa refraktometer lalu ditutup dan
dibaca skala pada cahaya terang, garis berat jenis terdapat pada bagian kiri
lensa. Kemudian diputar mikrometer guna memperjelas angka yang terlihat setelah
selesai dibersihkan dengan tisu. Selanjutnya dilakukan uji bekuan pada cairan
pleura pada pot sampel dan diperhatikan terjadinya bekuan, adanya bekuan
menunjukkan terjadinya eksudat.
Uji makroskopis selanjutnya ialah pemeriksaan Ph cairan
pleura dilakukan dengan cara memasukkan cairan pleura kedalam tabung reaksi dan
dimasukkan pH universal kedalam tabung reaksi serta dibandingkan dengan standar.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengindikasikan adanya kelainan pada cairan
pleura (Kurniawan, 2014).
·
Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
Pemeriksaan
kimia cairan pleura terdiri dari dua uji, yakni uji rivalta dan uji protein
metode Esbach. Uji Rivalta dilakukan dengan cara memasukkan 10 ml aquades ke
dalam gelas beaker, kemudian ditambahkan 1 tetes asam asetat glasial dan diaduk
dengan batang pengaduk agar homogen dan merata. Selanjutnya ditambahkan 1 tetes
cairan pleura diteteskan dengan jarak 1 cm dari atas permukaan cairan, hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui adanya reaksi antara larutan asam dengan
cairan pleura dan diamati dengan background hitam sebab reaksi positif akan
memberikan warna putih seperti kabut didalam larutan asam asetat glasial (Gandasoeebrata,
2010).
Pemeriksaan
lainnya ialah uji protein dengan metode Esbach yang dilakukan dengan ditetapkan
berat jenis cairan pleura yang sebelumnya telah dilakukan, kemudian
mengencerkan cairan pleura bila berat jenisnya ≤ 1,000 dengan aquades 5 – 10
kali dan bila berat jenisnya ≥ 1,010 maka diencerkan dengan aquades sebanyak 20
kali. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk memudahkan perhitungan dengan
penetapan menurut Esbach. Setelah mengencerkan berat jenis cairan pleura
dilakukan pengukuran berat jenis seperti sebelumnya. Setelah didapatkan berat
jenis dari hasil pengukuran dilakukan perhitungan menurut ketetapan Esbach
dengan rumus :
(Berat
Jenis – 1,007) x 343 = . . . . . gr
protein/100ml
(Kurniawan, 2014).
·
Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
Pemeriksaan
lanjutan ialah uji mikroskopis pada cairan pleura yakni, hitung jumlah leukosit
dan hitung jenis leukosit. Hitung jumlah leukosit dilakukan untuk mengetahui
banyaknya leukosit pada cairan pleura yang mengindikasikan cairan tersebut
eksudat ataupun transudat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengisi pipet
leukosit dengan cairan pleura terlebih dahulu, percobaan ini dilakukan dengan menghisap
cairan pleura dengan pipet thoma leukosit sampai tanda 0,5 lalu dihapus
kelebihan cairan pleura dengan tisu. Selanjutnya dimasukkan pipet kedalam
larutan turk hingga dengan 11, kemudian dikocok pipet selama 15 – 30 detik
untuk menghomogenkan larutan Turk dengan cairan pleura. Kemudian mengisi kamar
hitung dengan larutan tersebut dengan cara meletakkan kamar hitung yang bersih
dengan kaca penutup yang terpasang mendatar. Lalu, pipet dikocok selama 3 menit
dan dibuang cairan pada pipet leukosit 3 – 4 tetes, kemudian ujung pipet
disentuhkan pada permukaan kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup
dan kamar hitung dibiarkan selama 2 – 3 menit agar leukosit mengendap
(Kurniawan, 2016).
Pemeriksaan
uji mikroskopis selanjutnya ialah pemeriksaan hitung jenis leukosit.
Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui jenis sel leukosit dalam cairan
pleura sehingga dapat ditentukan jenis cairan tersebut (eksudat / transudat).
Pemeriksaan ini dilakukan mula – mula membuat sediaan apusan cairan pleura
terlebih dahulu dengan menyiapkan kaca objek yang bersih dan bebas lemak agar
hasil apusan tipis dan tidak berlubang – lubang serta memperjelas saat
dilakukan pengamatan (Gandasoebrata, 2010). Kemudian, diteteskan 1 tetes cairan
pleura diatas kaca objek dan dengan kaca objek lainnya dipegeng dengan kanan
kanan diletakkan diatas cairan pleura tersebut. Kemudian, menggeser kaca objek
ke arah atas hingga menyebar merata terbentuk hapusan cairan pleura yang tipis.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan pada apusan cairan pleura tersebut, tujuannya
adalah untuk memudahkan pengematan bentuk morfologi jenis leukosit dan dapat
dibedakan antara jenis yang satu dengan yang lain. Pewarnaan dilakukan dengan
dua mcam cat yakni cat Giemsa dan cat Wright. Pewarnaan dengan cat Giemsa
dilakukan pada sampel X dengan cara meletakkan sediaan apusan darah sampel X
yang telah kering diatas bak pewarnaan, lalu diteteskan metanol hingga memenuhi
seluruh apusan dan dibiarkan selama 5 menit. Penambahan metanol bertujuan untuk
memfiksasi apusan cairan pleura dan dilakukan hanya dalam waktu 5 menit sebab,
terlalu lama waktu fiksasi akan menyebabkan rusaknya sel – sel didalam cairan
pleura. Selanjutnya dibuang kelebihan
metanol pada bek permukaan dan diteteskan cat Giemsa pada apusan cairan pleura
selama 20 menit, tujuannya untuk memberikan warna pada sel – sel cairan pleura
sehingga dapat dibedakan dan dibiarkan selama 20 menit agar larutan cat Giemsa
dapat merasuk kedalam sel. Selanjutnya dibilas sisa – sisa cat Giemsa dengan
aquades untuk menghilangkan sisa – sisa cat pada apusan cairan pleura dan
dibiarkan mengering diudara sehingga dapat dilakukan pengamatan dibawah
mikroskop (Kurniawan, 2014). Pemeriksaan jenis sel leukosit pada sampel Y
dilakukan dengan pewarnaan cat Wright. Pewarnaan ini dilakukan dengan
meneteskan sebanyak 20 tetes cat Wright pada apusan cairan pleura yang telah
dibuat sebelumnya. Kemudian, dibiarkan selama 15 menit tujuannya agar cat
Wright dalam meresap kedalam sel – sel cairan pleura sehingga untuk memudahkan
saat pengamatan. Selanjutnya diteteskan larutan penyangga (buffer phospat) pH 6,4
sejumlah sama dengan tetesan Wright dan dibiarkan selama 5 – 12 menit.
Penambahan larutan penyangga bertujuan untuk menjaga konsistensi bentuk sel
pada cairan pleura sehingga tidak rusak dan mudah saat pengamatan. Lalu,
dibilas sediaan apusan darah yang telah dicat dengan aquades untuk menghilangkan
sisa – sisa cat pada apusan cairan pleura. Selanjutnya dibiarkan mengering
diudara sehingga dapat dilakukan pengamatan dibawah mikroskop (Gandasoebrata,
2010).
5.3 Analisa Hasil
5.3.1 Pemeriksaan Makroskopis Cairan Pleura
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan yakni
pemeriksaan volume cairan pleura pada sampel A1 didapatkan sebanyak 1,3 ml dan
sampel B1 sebanyak 1,7 ml. Menurut literatur dari Denny (2012) cairan efusi
pleura normalnya setidaknya berisi 10 – 20 cc, lebih dari itu merupakan
gangguan pada patofisiologis pada paru.
Menurut literatur tersebut dinyatakan bahwa cairan pleura pada kedua
sampel dinyatakan masih normal, namun ketidaksesuaian tersebut diakibatkan
karena sampel yang diterima bukan langsung diambil melalui paru dan langsung
diperiksan, namun hasil sebagian dari sampel cairan pleura yang yang telah
diambil. Sehingga praktikan tidak dapat memastikan cairan pleura tersebut
bermasalah atau tidak, sehingga dilakukan uji lanjutan yang lainnya. Menurut
Kurniawan (2014) bahwa semakin banyak cairan pleura yang terdapat pada paru menandakan
tingkat kerusakan pada paru – paru. Berdasarkan literatur dari Denny (2012) Efusi pleura
adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi batas
normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam
jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran
cairan pleura. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia,
lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan
salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan
terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura
merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita
keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma
(keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita
kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura (Price dan Lorraine, 2005).
Pemeriksaan makroskopis
selanjutnya ialah uji warna dan kejernihan cairan pleura, pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengamati adanya kelainan pada warna dan kejernihan cairan
pleura. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan pada sampel A1
berwarna kuning pekat jernih dan pada sampel B1 berwarna merah keruh. Menurut
literatur dari Kurniawan (2014) bahwa normalnya cairan pleura adalah bening dan
jernih. Cairan efusi pleura dinyatakan sebagai transudat apabila ditandai
dengan warna kuning muda jernih. Sedangkan apabila cairan efusi pleura tersebut
adalah eksudat maka cairan agak keruh dan memiliki warna warna yang berbeda –
beda tergantung pada penyebabnya, biasanya warna cairan eksudat dikarenakan
oleh adanya proses inflamasi dan beratnya peradangan yang terjadi. Apabila
cairan eksudat berwarna kuning menandakan adanya bilirubin, apabila cairan
eksudat berwarna merah maka terdapat darah didalamnya, jika cairan eksudat
berwarna putih – kekuningan dan keruh maka terdapat pus (nanah), bila cairan
eksudat berwarna biru – kehijauan disebabkan adanya B. pyocianeus dan apabila cairan eksudat berwarna putih susu maka
menandakan adanya kilus. Kekeruhan pada cairan eksudat disebabkan oleh adanya
kuantitas jumlah sel leukosit dapat mengakibatkan kekeruhan mulai tingkat
ringan sampai berat seperti bubur. Sedangkan eritrosit menyebabkan kekeruhan
berwarna kemerahan (Gandasoebrata, 2010). Berdasarkan literatur tersebut, maka
sampel A1 dinyatakan sebagai cairan transudat dan sedangkan sampel cairan
pleura B1 merupakan eksudat sebab cairannya keruh, dan berwarna merah karena
adanya eritrosit didalamnya.
Hasil pemeriksaan makroskopis bau
yang telah dilakukan pada sampel A1 ialah berbau seperti nanah (pus), sedangkan
sampel B1 ialah berbau amis seperti darah. Menurut literatur dari Gandasoebrata
(2010) normalnya cairan pleura ialah tidak berbau, umumnya baik transudat
maupun eksudat tidak memiliki bau yang khas, kecuali saat terjadinya pembusukan
protein dan adanya infeksi kuman E. coli
menyebabkan bau busuk pada cairan pleura. Biasanya cairan transudat tidak
berbau dan cairan eksudat ialah berbau. Berdasarkan literatur tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa sampel A1 dan B1 merupakan eksudat, sebab kedua sampel
memiliki bau yang kuat saat dilakukan percobaan pembauan dengan hidung.
Hasil pemeriksaan makroskopis berat jenis cairan
pleura yang telah dilakukan pada sampel A1 ialah 1,067 dan sampel B1 ialah
1,068. Menurut literatur dari Kurniawan (2014) ialah umumnya cairan pleura yang
dinyatakan sebagai transudat memiliki berat jenis < 1,018 (1,006 – 1,015)
dan cairan pleura dinyatakan sebagai eksudat apabila memiliki berat jenis
melebihi 1,018 (1,018 – 1,030). Berdasarkan literatur tersebut, kedua cairan
efusi pleura dinyatakan sebagai eksudat, namun masih meragukan sebab hasil yang
didapatkan melebihi standar yang telah ditetapkan, mengingat kemungkinan karena
sampel yang diperiksa tidak diperoleh langsung saat pengambilan sehingga cairan
efusi pleura kemungkinan sebagian telah menjadi bekuan, sehingga mempengaruhi
tingginya berat jenis. Hal tersebut didukung oleh literatur dari Gandasoebrata
(2010) yakni pemeriksaan berat jenis cairan efusi pleura harus segera dilakukan
/ ditentukan, sebelum memungkinkan cairan pleura tersebut terjadi bekuan yang
mempengaruhi hasil berat jenis yang semakin besar menyebabkan kesalahan saat
menetapkan diagnosa.
Hasil pemeriksaan makroskopis bekuan yang telah dilakukan
pada sampel efusi cairan pleura A1 ialah tidak adanya bekuan, sedangkan sampel
efusi cairan pleura B1 ialah terdapat bekuan berbentuk kepingan yang besar
berwarna merah. Berdasarkan literatur dari Gandasoebrata (2010) bahwa biasanya
cairan transudat tidak terdapat bekuan didalamnya, namun pada cairan eksudat
cairan pleura terdapat bekuan yang dinyatakan sebagai renggang, berkeping,
sangat halus dan lainnya. Bekuan terbentuk dan tersusun karena adanya fibrin
didalam cairan efusi pleura yang hanya didapatkan pada cairan eksudat.
Berdasarkan hasil dan literatur tersebut ialah sesuai, dimana sampel A1 merupakan
transudat dan cairan B1 merupakan eksudat, sebab adanya bekuan yang berbentuk
kepingan.
Hasil pemeriksaan makroskopis pengukuran pH yang telah
dilakukan pada sampel A1 adalah 9, sedangkan pH pada sampel B1 ialah 10.
Menurut liteatur dari Kurniawan (2014) menyatakan bahwa pH cairan transudat
efusi pleura ialah > 7,13 sedangkan pH cairan eksudat efusi pleura ialah
< 7,13 disebabkan adanya perombakan dan metabolisme beberapa bakteri yang
menyebabkan pH cairan eksudat cenderung bersifat asam. Berdasarkan hasil dan
literatur yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kedua cairan merupakan
transudat.
5.1.3 Pemeriksaan Kimia Cairan Pleura
Pemeriksaan kimia cairan
pleura hanya dilakukan pada sampel A1 dan B1. Hasil pemeriksaan kimia uji Rivalta pada sampel A1 memberikan hasil
positif lemah, sebab tetesan tersebut membentuk kekeruhan berupa kabut halus
atau dinyatakan sebagai transudat. Sedangkan pada sampel B1 memberikan hasil
positif kuat, sebab tetesan tersebut membentuk kekeruhan berupa kabut tebal atau
dinyatakan sebagai eksudat. Menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) yakni
interpretasi hasil pemeriksaan uji rivalta dibagi menjadi 3 kemungkinan, yaitu
:
·
Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam
asetat tanpa adanya kekeruhan, maka hasilnya ialah negatif.
·
Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam
asetat membentuk kekeruhan yang sangat ringan yaitu berupa kabut halus maka
memberikan hasil positif lemah atau dinyatakan sebagai transudat.
·
Tetesan cairan pleura yang tercampur dengn larutan asam
asetat membentuk kekeruhan yang nyata yaitu berupa kabut tebal atau berupa
presipitat maka memberikan hasil positif kuat atau dinyatakan sebagai eksudat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan cairan efusi pleura pada sampel A1 dan B1 serta
literatur yang didapatkan ialah sesuai. Maka dapat disimpulkan bahwa cairan
efusi pleura A1 adalah transudat dan cairan efusi pleura B1 adalah eksudat.
Pemeriksaan kimia cairan
pleura selanjutnya pada sampel A1 dan B1 ialah uji protein dengan metode Esbach
didapatkan sampel A1 sebanyak 0, 343 gr protein / ml. Sedangkan sampel B1 didapatkan sebanyak
0,686 gr protein / ml. Menurut literatur
dari Gandasoebrata (2010) menentukan kadar protein dalam cairan rongga tubuh
dapat membantu dalam membedakan cairan tersebut merupakan transudat atau
eksudat. Protein dalam transudat atau eksudat umumnya hanya terdapat
fibrinogen. Umumnya kadar protein transudat biasanya rendah yakni kurang dari
2,5 gr protein / 100 ml (gr/dl) sedangkan cairan eksudat biasanya berisi lebih
dari 4 gr/dl. Berdasarkan percobaan pemeriksaan uji protein metode Esbach
sampel A1 dan B1 dinyatakan sebagai transudat, sebab kadar protein yang didapat
saat pengujian dibawah 2,5 gr/dl.
Berdasarkan serangkaian
pemeriksaan makroskopis dan kimia yang dilakukan pada sampel A1 dan B1. Sampel
cairan pleura A1 merupakan cairan transudat sebab berbagai uji yang telah
dilakukan menunjukkan perbandingan antara transudat : eksudat = 5 : 2. Menurut
literatur dari Halim (2001) dalam
keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic,
sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini
terjadi pada:
5. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
6. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
7. Menurunnya tekanan koloid osmotic
dalam pleura
8. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang
menyertai transudat adalah:
- Gagal jantung kiri (terbanyak)
- Sindrom nefrotik
- Obstruksi vena cava superior
- Asites pada sirosis hati (asites
menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening).
Sedangkan Sampel cairan pleura B1 merupakan cairan
eksudat sebab berbagai uji yang telah dilakukan menunjukkan perbandingan antara
eksudat : transudat ialah 5 : 2. Menurut literatur dari Price dan Lorraine
(2005) yakni Eksudat merupakan cairan yang terbentuk
melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa
yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah
bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
- Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
- Tumor pada pleura
- Iinfark paru,
- Karsinoma bronkogenik
- Radiasi,
- Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic
Lupus Eritematosis).
5.1.3 Pemeriksaan Mikroskopis Cairan Pleura
Pemeriksaan mikroskopis cairan pleura dilakukan pada
sampel yang berbeda yakni sampel X dan sampel Y, sebab sampel yang didapat dan
tanggal pengambilannya berbeda. Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan pada
sampel ialah hitung jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit. Hasil pemeriksaan hitung jumlah leukosit pada
sampel X didapatkan sebanyak 650 sel/ul. Sedangkan hitung jumlah leukosit pada
pada sampel Y didapatkan sebanyak 17.775 sel/ul, kedua sampel dilakukan
perhitungan jumlah leukosit sebab kedua cairan tidak bersifat purulen. Menurut
literatur dari Gandasoebrata (2010) yakni, apabila cairan berupa purulen, maka tidak
ada gunanya untuk menghittung jumlah leukosit, pemeriksaan ini hanya dilakukan
apabila cairan bersifat jernih atau agak keruh. Cairan transudat biasanya mengandung
kurang dari 500 sel/ul sel leukosit. Semakin tinggi nilai angka yang didapatkan
maka semakin besar kemungkinan cairan tersebut bersifat eksudat. Berdasarkan
hasil yang didapat dan literatur, maka dapat disimpulkan bahwa kedua sampel
cairan pleura tersebut merupakan eksudat, sebab jumlah sel leukosit melebihi
500 sel/ul.
Pemeriksaan mikroskopis pada sampel X dan Y selanjutnya
ialah hitung jenis leukosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit pada
sampel X ialah didapatkan neutrofil 2% (sel leukosit PMN/segmen), limfosit 83%
(sel leukosit mononukleat), dan monosit 15% (sel leukosit mononukleat).
Sedangkan pada sampel Y ialah didapatkan neutrofil stab 6% (sel leukosit
PMN/segmen), neutrofil segmen 6% (sel leukosit PMN/segmen), basofil 5% (sel
leukosit PMN/segmen), limfosit 80% (sel leukosit mononukleat) dan monosit 3%
(sel leukosit mononukleat). Menurut literatur dari Kurniawan (2014) yakni
hitung jenis ini hanya untuk membedakan limfosit den sel leukosit segmen.
Hitung jenis leukosit dapat memberi keterangan tentang jenis radang. Jenis yang
menyertai proses radang akut hampir semuanya berupa sel leukosit PMN / segmen, sedangkan radang menahun hanya
menghasilkan sel limfosit saja dalam hitung sejenis. Perbandingan banyak sel
dalam golongan limfosit dan sel polimorfonuklear atau segmen memberikan
petunjuk ke arah radang yang menyebabkan atau menyertai eksudat. Hasil
transudat apabila hanya ditemukan sel mononuklear (limfosit) sedangkan hasil
eksudat apabila ditemukan sel mononuklear dan PMN / segmen. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh literatur menurut Bahar (2001) Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting
untuk diagnostic penyakit
pleura, terutama bila ditemukan patologis atau dominasi sel – sel tertentu
:
a.
Sel
neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut
b.
Sel
limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum.
c.
Sel
mesotel: bila jumlahnya meningkat adanya infark paru.biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
d.
Sel
mesotel maligna: pada mesotelioma.
e.
Sel-sel
besar dengan banyak inti: pada arthritis rheumatoid.
f.
Sel
L.E: pada lupus eritematosus sistemik.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan literatur tersebut
sesuai sehingga dapat disimpulkan bahwa, kedua sampel merupakan eksudat dimana
kedua sampel terdapat adanya neutrofil berarti adanya infeksi, adanya sel limfosit yang menunjukan adanya peradangan
dan infeksi kronik
seperti pleuritis tuberkulosa
atau limfoma malignum (Bahar, 2001). Hasil kedua pemeriksaan mikroskopis
cairan pleura tersebut telah menyatakan hasil eksudat, hal tersebut diperkuat
uji makroskopis warna dan kejernihan cairan pleura, dimana hasil pemeriksaan
makroskopis warna dan kejernihan kedua sampel ialah berwarna merah dan agak
keruh yang menurut literatur dari Gandasoebrata (2010) warna merah pada cairan
efusi pleura dinyatakan sebagai eksudat, kekeruhan
pada cairan eksudat disebabkan oleh adanya kuantitas jumlah sel leukosit dapat
mengakibatkan kekeruhan mulai tingkat ringan sampai berat seperti bubur.
Sedangkan eritrosit menyebabkan kekeruhan berwarna kemerahan.
BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang
telah dilakukan yakni pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan kimia dan
pemeriksaan mikroskopis cairan efusi pleura dapat ditarik kesimpulan :
1.
Pemeriksaan makroskopis yang telah dilakukan meliputi
volume, bau, warna dan kejernihan, pH, dan bekuan dapat disimpulkan bahwa sampel
A1 merupakan transudat dan sampel B1 adalah eksudat.
2. Pemeriksaan
pemeriksaan kimia yang telah dilakukan, meliputi uji Rivalta dan uji Esbach
dapat disimpulkan bahwa sampel A1 merupakan transudat dan sampel B1 adalah
eksudat.
3.
Pemeriksaan mikroskopis yakni hitung jumlah leukosit dan
hitung jenis leukosit yang telah dilakukan pada sampel X dan sampel Y merupakan
eksudat, hasil tersebut diperkuat dengan hasil pemeriksaan makroskopis warna
dan kejernihan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Bahar,
Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
·
Denny, Firdaus. 2012. Efusi
Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek : Bandar Lampung.
·
Gandasoebrata,
R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta:
Dian Rakyat Agung.
·
Halim
H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II,
edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
·
Kurniawan,
F. B. 2015. Kimia Klinik : Praktikum
Analis Kesehatan. Jakarta : EGC.
·
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta : EGC.
·
Smeltzer, C.S .
2002. Buku Ajar Keperawatan
medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta : EGC