LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK I
(PERCOBAAN II)
PEMERIKSAAN PROTEIN DAN GLUKOSA PADA URINE
Dosen
Pengampu Mata Kuliah Kimia Klinik I
A’yunil
Hisbiyah, S.Si., M.Si
Yulianto
Ade Prasetya, S.Si., M.Si
Nama Kelompok :
1. Ike
Yuyun W (15010100005)
2. Kharisma
Aprilia P (15010102006)
3. Merinsa
Chorry H (15010101009)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA
D3 Analis Kesehatan
2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Energi yang kita perlukan diperoleh dari bahan yang kita dikonsumsi.Bahan
makanan itu mengandung tiga kelompok utama senyawa kimia yaitu karbohidrat,
protein dan lemak.Senyawa – senyawa tersebut selanjutnya akan mengalami proses
metabolisme, disamping menjadi energi tetapi terdapat zat pengeluaran yang
dihasilkan melalui proses pada sistem perkemihan menghasilkan urine. Urine
merupakan hasil metabolisme tubuh yang dikeluarkan melalui ginjal. Dari 1200 ml
darah yang melalui glomeruli per menit akan terbentuk filtrat 120 ml per menit.
Filtrat tersebut akan mengalami reabsorpsi, difusi dan ekskresi oleh tubuli
ginjal yang akhirnya terbentuk satu mili liter urine per menit (Evelyn, 2006)
Secara umum, dapat dikatakan bahwa
pemeriksaan urine selain untuk mengetahui kelainan ginjal dan salurannya juga
bertujuan untuk mengetahui kelainan-kelainan diberbagai organ tubuh seperti
hati, saluran empedu, pankreas, korteks adrenal, uterus dan lain-lain. Selama ini
dikenal pemeriksaan urine rutin dan lengkap. Yang dimaksud dengan pemeriksaan
urine rutin adalah pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urine yang
meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Oleh karena sebagai calon Ahli
Laboratorium Medis dituntut untuk dapat melakukan pemeriksaan tersebut, salah
satunya adalah pemeriksaan protein dan glukosa pada urine.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada percobaan ini adalah
1.
Bagaimana cara
menentukan pemeriksaan
kualitatif protein urine ?
2.
Bagaimana
cara menentukan pemeriksaan semi kuantitatif protein urine ?
3.
Bagaimana
cara menentukan pemeriksaan protein Bence Jones ?
4.
Bagaimana cara menentukan glukosa dalam urine ?
5.
Bagaimana cara
menentukan adanya indikasi kelainan-kelainan pada fungsi renal ?
1.3 Tujuan Percobaan
Tujuan pada
percobaan ini adalah :
1. Mahasiswa dapat menentukan pemeriksaan kualitatif
protein urine.
2. Mahasiswa dapat menentukan pemeriksaan semi kuantitatif protein urine.
3. Mahasiswa dapat menentukan pemeriksaan protein Bence Jones.
4. Mahasiswa dapat menentukan glukosa dalam urine.
5. Mahasiswa dapat menentukan adanya indikasi kelainan-kelainan pada fungsi
renal.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
5.1
Urine
Urine atau air seni atau air kencing merupakan cairan sisa yang
diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam
darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan
tubuh.Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung
kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra.Urine normal biasanya
berwarna kuning, berbau khas jika didiamkan berbau ammoniak, pH berkisar 4,8 –
7,5 dan biasanya 6 atau 7. Berat jenis urine 1,002 – 1,035.Volume normal
perhari 900 – 1400 ml (Depkes RI, 1991).
Fungsi
utama urine adalah untuk melarutkan zat-zat sisa metabolisme yang
tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Hal itu mungkin apabila urine yang dihasilkan berasal
dari ginjal dan saluran kencing yang terinfeksi serta mengandung bakteri.
Secara medis, apabila urine yang diproduksi berasal dari ginjal yang
sehat dan saluran kencing yang terinfeksi, maka urine dikatakan cukup steril.
Bahkan di India ada TerapiUrine Amaroli, yang membuktikan urine itu cukup
steril digunakan dalam pengobatan(Guyton, 1983).
5.2
Protein
Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Ada 20 asam amino
standar, yang masing-masing terdiri dari sebuah gugus karboksil, sebuah gugus
amino, dan rantai samping (disebut sebagai grup "R").Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen dan kadangkala sulfur serta fosfor. Protein berperan
penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup
dan virus(Poedjiadi, 2013).
Kebanyakan protein
merupakan enzim atau
subunit enzim. Jenis protein lain berperan dalam fungsi struktural atau
mekanis, misalnya protein yang membentuk batang dan sendi sitoskeleton.
Protein terlibat dalam sistem imun sebagai antibodi,
sistem kendali dalam bentuk hormon, sebagai komponen penyimpanan (dalam biji) dan juga
dalam transportasi hara.Sebagai salah satu sumber gizi, protein berperan
sebagai sumber asam amino bagi organisme yang tidak mampu
membentuk asam amino tersebut (heterotrof) (Toha, 2001).
5.2.1
Pemeriksaan
Protein urine
Protein yang dipanaskan akan membentuk presipitasi
yang terlihat berupa kekeruhan. Pemberian asam asetat dilakukan untuk mencapai
atau mendekati titik isoelektrik protein.Penetapan kadar protein dalam urin
biasanya dinyatakan berdasarkan timbulnya kekeruhan pada urin. Karena padatnya
atau kasarnya kekeruhan itu menjadi satu ukuran untuk jumlah protein yang ada,
maka menggunakan urin yang jernih menjadi syarat yang penting. Salah satu uji
protein urin yang cukup peka adalah dengan melalui pemanasan urin dengan asam
asetat. Pemberian asam asetat dilakukan untuk mencapai atau mendekati titik
iso-elektrik protein, sedangkan pemanasan bertujuan untuk denaturasi sehingga
terjadilah presipitasi. Kekeruhan yang ringan akan sangat sukar untuk dilihat,
maka harus menggunakan tabung yang bersih dan bagus. Jika tabung yang akan
digunakan sudah tergores, maka tabung tersebut harus diganti. Pada pemberian
asam asetat yang sangat berlebihan akan mengakibatkan hasil negatif palsu pada
pemeriksaan tersebut. Sebaliknya, hasil positif palsu dapat ditemukan bila
kekeruhan terjadi bukan diakibatkan oleh adanya globulin atau albumin,
melainkan :
·
Nukleoprotein, kekeruhan terjadi pada
saat pemberian asam asetat sebelum pemanasan
·
Mucin, kekeruhan juga terjadi pada saat
pemebrian asam asetat sebelum pemanasan
·
Proteose, presipitat terjadi setelah
campuran reaksi mendingin, kalau dipanasi menghilang lagi
·
Asam-asam renin, kekeruhan oleh zat ini
larut dalam alcohol
·
Protein Bence Jones, protein ini larut
dalam pada suhu didih urine, terlihat kekeruhan pada suhu kira-kira 60 derajat
celcius.
Biasanya, hanya sebagian kecil protein
plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan
diekskresikan ke dalam urin. Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi
150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai
proteinuria. Adanya protein dalam urine disebut proteinuria (Baron, 1990).
5.3
Protein
Bence Jones
Protein Bence Jones adalah suatu protein dengan
berat molekul kecil (± 44.000) terdiri dari rantai ringan (light chains) kappa
atau lambda immunoglobin yang ditemukan di urin.Karena berat molekulnya yang
kecil, protein bence jones mudah ditemukan difiltrasi diglomerolus ginjal dan
ditemukan diurin.Sifat Protein ini yaitu bila dipanaskan sampai suhu 40-600 terjadi
presipitat dan pada saat pemanasan diteruskan sampai mendidih presipitat
menghilang. Ketika didinginkan, protein bence jones akan menjadi presipitat
pada suhu 600C dan akan larut pada suhu kurang dari 400C(Kurniawan,
2015).
Protein bence jones disebut sebagai tumor marker dimana suatu zat yang
dibuat oleh tubuh sebagai tanda yang berhubungan dengan kanker tertentu, atau
keganasan.Protein bence jones dibuat oleh plasma sel, suatu sel darah
putih.Adanya protein di urin berkaitan dengan keganasan dari sel plasma. Sel
plasma yang mengalami keganasan akan mengalami proliferasi sel yang berlebihan,
sehingga membentuk alone. Sel-sel tersebut membentuk suatu imunoglobulin
homogenus, dan satu tipe free light cham baik berupa kappa atau lambda.
Produksi subunit yang tidak seimbang ini dapat menyebabkan produksi light
chains berlebihan yang kemudian di filtrasi diglomerulus dan di ekskresikan
melalui urin. Semua ini tergantung dari seberapa banyak light chains dan heavy
chains yang diproduksi oleh elones (klon) (Gandasoebrata, 1998).
5.3.1
Pemeriksaan Protein Bence Jones
Suatu urinalisis rutin tidak dapat
mendeteksi adanya protein bence jones.Ada beberapa metode yang dilakukan untuk
mengetahui dan menghitung protein tersebut. Reaksi klasik bence jones adalah
dengan memanaskan urin sampai suhu 600C pada temperatur ini protein
bence jones akan menggumpal. Bila urin terus menerus dipanaskan sampai
mendidih, urin maka akan larut kembali dan bila didinginkan akan kembali
menggumpal. Ada beberapa test lain dengan menggunakan garam-garam, asam-asam
dan zat-zat kimia lain, tapi test –test ini tidak dapat untuk mengetahui berapa
banyak protein bence jones yang terdapat pada urin, hanya ada atau tidaknya
saja.Prosedur yang lebih kompleks dilakukan untuk mengukur banyaknya protein
bence jones, yaitu dengan menggunakan imunoelectroporesis, biasa digunakan
dengan menggunakan urin 24 jam (Kurniawan, 2015).
5.4
Glukosa Urine
Glukosa
urine adalah gugus gula sederhana yang masih ada di urine setelah melewati
berbagai proses di ginjal. Kalau ada glukosa di urine, berbahaya berarti ada
yang tidak beres waktu proses urinisasi. Disebabkan karena kurang hormon
insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa menjadi glikogen (kalau kurang
berarti gula di darah tinggi). Kalau gula darah tinggi, otomatis gula di darah
juga tinggi. Pemeriksaan glukosa urine merupakan pengukuran kadar glukosa dalam
urine. Pemeriksaan ini sebenarnya tidak dapat digunakan untuk menggambarkan
kadar glukosa dalam darah. Namun pada kasus tertentu, pemeriksaan ini
diperlukan untuk pemantauan (Gandasoebrata, 1998).
5.4.1
Pemeriksaan Glukosa Urine
Tes
glukosa urin dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi reduksi, dikerjakan
dengan menggunakan fehling, benedict, dan clinitest. Ketiga jenis tes ini dapat
digolongkan dalam jenis pemeriksaan semi kuantitatif.Sedangkan tes glukosa
dengan enzimatik dilakukan dengan metode carik celup yang tergolong dalam
pemeriksaan semi kuantitatif dan kuantitatif (Yazid dan
Nursanti, 2014). Diabetes adalah suatu penyakit yang
dapat dideteksi melalui urin. Urin penderita diabetes akan mengandung gula yang
tidak akan ditemukan dalam urin orang yang sehat. Untuk menyatakan keberadaan
suatu glukosa, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda – beda. Cara yang tidak
spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan suatu zat dalam reagen yang berubah
sifat dan warnanya jika direduksi oleh glukosa. Diantaranya adalah penggunaan
reagen fehling yang dapat dipakai untuk menyatakan adanya reduksi yang
mengandung garam cupri. Sedangkan pembuktian glukosuria secara spesifik dapat
dilakukan dengan menggunakan enzim glukosa oxidase ( Yazid dan
Nursanti, 2014 ).
5.4.2
Kelainan Glukosa Urine
Pada orang normal tidak ditemukan
adanya glukosa dalam urine. Glukosuria dapat terjadi karena peningkatan kadar
glukosa dalam darah yang melebihi kapasitas maksimum tubulus untuk mereabsorbsi
glukosa. Hal ini dapat ditemukan pada kondisi diabetes melitus, tirotoksis,
sindroma chusing, phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial atau
karena ambang rangsang ginjal yang menurun seperti pada renal glukosuria
kehamilan dan sindroma fanconi.Namun reduksi positif tidak selalu berarti
pasien menderita diabetes melitus. Hal ini dikarenakan pada penggunaan cara
reduksi dapat terjadi hasil positif palsu pada urin yang disebabkan karena
adanya kandungan bahan reduktor selain glukosa. Bahan reduktor yang dapat
menimbulkan reaksi positif palsu tersebut antara lain : galaktosa, fruktosa,
laktosa, pentosa, formalin, glukuronat dan obat – obatan seperti streptomycin,
salisilat dan vitamin C. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lebih lanjut
untuk memastikan jenis gula pereduksi yang terkandung dalam sampel urine. Hal
ini dikarenakan hanya kandungan glukosa yang mengidentifikasi keberadaan
penyakit diabetes. Penggunaan cara enzimatik lebih sensitif dibandingkan dengan
cara reduksi. Cara enzimatik dapat mendeteksi kadar glukosa urin sampai
100mg/dL, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai 250 mg/dL. Nilai ambang
ginjal untuk glukosa dalam keadaan normal adalah 160 – 180 mg% ( Baron, 1990 ).
5.4.3
Faktor – Faktor yang mempengaruhi
Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah atau keadaan
urine yaitu diantaranya jumlah air yang diminum, keadaan sistem syaraf, hormon
ADH, banyaknya garam yang harus dikeluarkan dari darah agar tekanan menjadi
osmotic, pada penderita diabetes melitus pengeluaran glukosa diikuti kenaikan
volume urine ( Evelyn, 2011 ).
BAB
III
METODOLOGI
PERCOBAAN
3.1 Alat
Peralatan yang
dipergunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet
pasteur penjepit tabung, termometer, beaker glass, botol penampung urin, bunsen
dan pipet ukur
3.2 Bahan
Bahan yang
dipergunakan dalam praktikum ini adalah HNO3 pekat, urine
segar,larutan asam sulfosalisil 20%, asam asetat 6%, reagen Benedict, reagen
Fehling, dan aquades.
3.3 Prosedur kerja
3.3.1 Pemeriksaan Kualitatif Protein urine metode Heller
![]() |
3.3.2 Pemeriksaan Semi Kuantitatif Protein Urine
Asam asetat 6%
![]() |
3.3.3
Pemeriksaan Protein Bence Jones

|
3.3.4
Pemeriksaan
Reduksi Urine
Metode Benedict


|
BAB
IV
DATA
HASIL PERCOBAAN
Nama Pasien : Tn. Marijo
Umur : 46 tahun
Tanggal pemeriksaan :
21 Oktober 2016
No
|
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
1.
|
Uji
protein kualitatif urine
|
Terdapat
cincin putih
|
Positif
protein
|
2.
|
Uji
protein semi-kuantitatif urine
|
Sangat
keruh dan terdapat banyak Kepingan besar putih (>0,5)
|
Positif
(++++)
|
3.
|
Uji
protein Bence Jones
|
Kekeruhan
muncul saat penambahan asam asetat 50%, kemudian dipanaskan kekeruhan hilang
|
Positif
protein Bence Jones
|
4.
|
Uji
Glukosa Urine
-
Benedict
-
Fehling
|
-
Tetap biru
-
Sedikit kehijauan
|
-
Negatif
-
Negatif
|
Nama Pasien : Nn. Dita
Umur : 20 tahun
Tanggal pemeriksaan :
21 Oktober 2016
No
|
Parameter
|
Hasil
|
Keterangan
|
1.
|
Uji
protein kualitatif urine
|
Tetap
kuning
|
Negatif
|
2.
|
Uji
protein semi-kuantitatif urine
|
Tidak
terdapat endapan
|
Negatif
|
3.
|
Uji
protein Bence Jones
|
Tidak
muncul kekeruhan saat penambahan asetat 50%
|
Negatif
|
4.
|
Uji
Glukosa Urine
-
Benedict
-
Fehling
|
-
Tetap biru
-
Sedikit kehijauan
|
-
Negatif
-
Negatif
|
BAB
V
PEMBAHASAN
5.1 Prinsip
Percobaan
5.1.1 Pemeriksaan Kualitatif Protein Urine
Metode : Kualitatif Heller
Prinsip : Adanya protein dalam urine
akan bereaksi dengan HNO3 pekat
membentuk cincin.
5.1.2 Pemeriksaan Semi Kuantitatif Protein Urine
Metode : Asam sulfosalisil dan asam
asetat 6% (semi kuantitatif)
Prinsip : Adanya protein dalam urine ditunjukkan
dengan timbulnya
kekeruhan
dengan cara menambahkan suatu asam pada urine sehingga lebih mendekati titik
isoelektrik protein. Pemanasan selanjutnya adalah untuk mengadakan denaturasi sehingga
terjadi presipitasi yang dinilai secara semi kuantitatif.
5.1.3 Pemeriksaan Protein Bence Jones
Metode : Osgood
Prinsip : Protein Bence Jones
merupakan protein patologis yang mempunyai
sifat
larut pada suhu didih dan timbul kekeruhan pada suhu 60o-80oC
dan hilang pada suhu kamar.
5.1.4 Pemeriksaan Glukosa Urine
Metode : Benedict dan Fehling
Prinsip : Zat pereduksi dalam urine
dapat mereduksi ion-ion logam tertentu
dalam
larutan basa seperti Cu, Bi, Hg, dan Fe. Gula pereduksi dalam urine akan
mereduksi CuSO4 yang berwarna biru menjadi endapan merah dalam
suasana alkalis.
5.2 Analisa
Prosedur
Pemeriksaan kualitatif protein urine
dengan metode Heller ini perlakuan pertama dilakukan dengan memasukkan 3 ml HNO3
pekat ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 1-3 ml urine lewat dinding tabung. Hal tersebut dilakukan
agar mempermudah pengamatan. Penambahan HNO3 pekat untuk melihat adanya cincin
putih yang menunjukkan adanya urea, asam
urat, dan garamnya. Hal tersebut dikarenakan urine yang mengandung protein jika
ditambahkan HNO3 pekat akan terdenaturasi sehingga menghasilkan
cincin putih pada permukaan urine (Baron, 1990)
Pemeriksaan semi kuantitatif protein
urine dengan metode asam asetat 6%. Pemeriksaan dilakukan dengan cara dua tabung reaksi diisi 2mL urine,
tabung pertama dipanaskan, dan tabung kedua tidak dipanaskan hal ini
dikarenakan tabung kedua digunakan sebagai kontrol. Pada tabung pertama
dipanaskan hal ini bertujuan untuk melihat protein dalam keadaan denaturasi dan
terjadi presipitasi. Kemudian ditambahkan 3-5 tetes asam asetat 6% kedalam
urine yang dipanaskan. Hal ini penambahan asam asetat untuk mencapai titik
isoelektrik protein, pemanasan bertujuan untuk mendenaturasi protein sehingga
terjadi presipitan. Pada penambahan asam asetat digunakan konsentrasi 3-6% hal
ini dikarenakan pH yang dicapai pada
saat pemberian asam asetat dan penggunaan asam penyangga dengan pH 4,5 dapat digunakan sebagai pengganti asam
asetat. Pada penambahan asam asetat kekeruhan hilang. Hal in dikarenakan
kekeruhan sebelumnya disebabkan kalsium karbonat. Jika terdapat kekeruhan masih
ada hal ini dikarenakan protein mengalami presipitasi dengan dibantu adanya
garam-garam yang ada dalam urine.
Pemeriksaan protein Bence Jones dengan
metode Osgood, perlakuan pertama dilakukan dengan dimasukkan 5 ml urine kedalam
tabung reaksi dengan diletakkan termometer kedalam tabung reaksi. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui suhu awal urine. Kemudian dipanaskan tabung reaksi
di penangas air dengan suhu 60ºC. Hal ini bertujuan untuk melihat presipitat
saat pemanasan. Kemudian diangkat tabung reaksi dari penangas air dan
dipanaskan diatas nyala api sampai mendidih selama 1 menit. Hal iniuntuk
mempercepat reaksi adanya presipitasi. Hal ini diamati jika presipitat hilang
hal ini dikarenakan protein bonce jones
akan larut dalam suhu amar 40 ºC. Dan jika presipitat tidak hilang ditambahkan
asam asetat. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kekeruhan yang mengandung albumin,
globulin.
Pemeriksaan glukosa urine ini dengan
metode Fehling dan metode Benedict. Pada prosedur pertama adalah metode Benedict,
dengan dimasukkan 8 tetes urine dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml
Benedict dengan pipet. Hal ii penambahan Benedict dapat mereduksi ion Cu2+
menjadi ion Cu+ dan kemudian terjadi endapan Cu2O.
Kemudian dilakukan pemanasan 5 menit, hal ini dikarenakan untuk mempercepat
terjadinya reaksi. Kemudian didinginkan pada suhu kamar, hal ini untuk
mengamati terjadinya endapan warna kuning atau merah bata jika ada kandungan
glukosa. Pada prosedur kedua adala metode Fehlng, dengan perlakuan pertama
dimasukkan 2 ml Fehling A dan 2 ml Fehling
B, kemudian dicampurkan. Hal ini dikarenakan pencampuran dua reagen
tersebut untuk memeriksa suatu adanya karbohidrat. Kemudian ditambahka urine 1
ml dan dipanaskan hingga mendidih. Hal ini bertujuan untuk melihat adanya
reaksi urine dengan reagen Fehling untuk
mengetahui mereduksi ion Cu2+ direduksi menjadi ion Cu+
dalam suasana basa. Kemudian diamati jika terdapat endapan dari reaks Cu2O
akan terbentuk warna merah bata atau hijau kekuningan.
5.3 Analisa
Hasil
5.3.1 Pemeriksaan Kualitatif Protein Urine
Pemeriksaan kualitatif protein urine
dengan metode kualitatif Heller. Uji ini dilakukan dengan mencampurkan urine
dengan HNO3 pekat sehingga hasilnya akan terbentuk cincin yang
berwarna putih pada permukaan larutan. Hal ini menandakan bahwa didalam urine terkandung
albumin (protein). Urine pecah kemudian mengalami denaturasi oleh HNO3.
Protein albumin jika terkena HNO3 akan terjadi denaturasi protein dipermukaan,
tetapi jika berlangsung lama, denaturasi akan berlangsung terus-menerus sampai
cincin putih menghilang (Baron, 1990)
Hasil positif (+) pemeriksaan kualitatif
protein urin metode Heller ditunjukkan dengan terbentuknya cincin putih pada
permukaan urine setelah ditambahkan HNO3 pekat. Hasil negatif ( - )
ditunjukkan dengan tidak terbentuk cincin putih pada permukaan urine setelah
penambahan HNO3 pekat. Hal tersebut menunjukkan bahwa urine yang
diperiksa tidak mengandung protein (Baron, 1990)
Berdasarkan percobaan yang telah
dilakukan pada pasien Tn. Marijo (46thn) urine positif (+) mengandung albumin (protein),
hal tersebut terlihat dari terbentuknya cincin putih pada permukaan urine
setelah penambahan HNO3 pekat. Adanya protein dalam urine pada
pasien Tn. Marijo (46thn) menandakan bahwa terdapat kerusakan pada ginjal
pasien dan hal ini didapat data yang didukung bahwa pasien Tn. Marijo (46thn) adalah
penderita gagal ginjal kronik sehingga pada ginjal tidak berfungsi dengan baik
karena adanya kerusakaan. Pada pasien Nn. Dita (20thn) didapatkan hasil urine
pasien negatif ( - ) mengandung protein, hal tersebut ditunjukkan dengan tidak
terbentuk cincin putih pada permukaan urine setelah penambahan HNO3
pekat.
5.3.2 Pemeriksaan Semi Kuantitatif Protein Urine
Pemeriksaan semi kuantitatif protein
urine dengan metode asam asetat 6% dan pemanasan yang bertujuan untuk
mendenaturasi protein urine sehingga terbentuk presipitan. Pemanasan akan
membuat protein sampel terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat air menurun.
Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi
non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan
non-kovalennya yang berupa ikatan peptida (Baron, 1990). Interpretasi hasil
pemeriksaan semi kuantitatif protein urine ditunjukan dengan :
-
Positif
I (+) : Warna keruh tanpa
butir 0,01 – 0,05 %
-
Positif
II (++) : Keruh ada butir 0,05 –
0,2 %
-
Positif
III (+++) : Keruh terdapat kepingan
0,2 – 0,5 %
-
Positif
IV (++++) : Sangat keruh terdapat
kepingan yang menggumpal
>0,5%.
Berdasarkan percobaan yang telah
dilakukan pada pasien Tn. Marijo (46thn) didapatkan hasil urine positif (++++) mengandung
protein, hal tersebut ditunjukkan dari warna urine setelah penambahan asam
asetat 6% terlihat sangat keruh dan terdapat banyak kepingan menggumpal besar.
Presipitasi dinilai secara semi kuantitatif diperoleh sebesar >0,5 %.
Berdasarkan hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa pasien Tn. Marijo
(46thn) mengalami gangguan ginjal
terdapat kerusakan pada ginjal pasien dan hal ini didapat data yang
didukung bahwa pasien Tn. Marijo (46thn) adalah penderita gagal ginjal kronik
sehingga pada ginjal tidak berfungsi dengan baik karena adanya kerusakaan. Pada pasien Nn. Dita (20thn) didapatkan
hasil urine negatif mengandung protein, hal tersebut ditunjukkan dari urine yang
tidak terbentuk endapan setelah penambahan asam asetat 6%.
5.3.3 Pemeriksaan Protein Bence-Jones
Protein
Bence-Jones merupakan protein globulin monoklonal yang dapat ditemui didalam
urine dan darah yang berukuran kecil dengan berat molekul antara 22 hingga 24
kDa (Kilo Dalton). Pada keadaan normal, protein Bence Jonestidak ditemukan pada
urine manusia. Jika protein Bence Jones ditemukan pada urine, maka hal itu
merupakan indikasi bahwa orang tersebut menderita multiple Myeloma yang dikenal
juga dengan nama plasma cell Myeloma (Kahler’s disease). Multiple Myeloma
merupakan bentuk kanker dari sel-sel plasma dimana sel-sel yang abnormal akan
terakumulasi ditulang sehingga menyebabkan terjadinya lesi atau luka pada
tulang (Kurniawan, 2015)
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan terhadap Tn. Marijo
(46thn) didapatkan bahwa Tn. Marijo (46thn) positif protein Bence Jones, hal
tersebut terlihat dari kekeruhan yang muncul pada saat penambahan asam asetat
50%, kemudian dipanaskan kekeruhan tersebut hilang. Adanya protein Bence Jones
pada urine digunakan sebagai penegakan diagnosis awal atau seseorang yang
menderita gagal ginjal sebagai manisfestasi dari penyakit multiple Myeloma (Kahler’s
disease). Ukurannya yang kecil membuatprotein Bence Jones dapat lolos dari
proses penyaringan atau filtrasi yang terjadi di ginjal. Keaadaan yang
ditemukannya protein didalam urine disebut proteinuria. Kadar protein yang
tinggi didalam urine atau adanya gejala-gejala yang mengarah pada keadaan
multiple Myeloma merupakan dasar dilakukannya pengujian protein Bence Jones
atau secara semi kuantitatif. Untuk mendeteksi protein Bence Jones secara lebih
akurat dapat menggunakan urine imunofixation dengan prinsip mendeteksi melalui
proses pengendapan yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya reaksi spesifik
antara antigen(dalam hal ini adalah protein Bence Jones) dengan antibody.
Pengendapan dapat dilihat dengan mata telanjang atau mikroskop (Kurniawan,
2015). Pada pasien Nn. Dita (20thn) pada pemeriksaan Bence Jones dihasilkan
bahwa pasien Nn. Dita (20thn) negatif ( - ) protein Bence Jones, hal tersebut
terlihat melalui tidak terlihat kekeruhan saat penambahan asetat 50%.
Berdasarkan hasil pengujian
protein kualitatif, protein semi kuantitatif, dan protein bence jones didapat
hasil pasien Tn. Marijo (46thn) didapat hasil positif (+) hal ini dikarenakan
pasien ini sudah menderita gagal ginjal kronik dan bagian ginjal mengalami
kerusakan. Menurut literatur sakit gagal ginjal kronik adalah salah satu
penyakit yang dikarenakan adanya gangguan fungsi ginjal yang menahun maka akan
berlangsung tidak dapat kembali seperti semula. Dimana pada kemampuan ginjal
yang berfungsi sebagai keseimbangan cairan, metabolisme, dan elektrolit yang
menyebabkan uremia. Penyakit dan kondisi sering menyebabkan gagal ginjal kronik
adalah penyakit Glomerulonefritis(peradangan pada penyaringan ginjal), nefritis
interstitial, peradangan pada tubulus ginjal, infeksi ginjal berulang
(pielonefritis) (Baron, 1990). Pada hal ini didapat hasil, bahwa jika seseorang
sudah menderita penyakit gagal ginjal kronik maka ginjal sudah terjadi
kerusakan permanen, sedangkan ginjal sendiri merupakan bagian organ yang sangat
mudah beradaptasi sehingga mampu mengimbangi kehilangan fungsinya maka hal ini ginjalnya
secara perlahan mengalami fungsi yag tidakk normal(Evelyn, 2011).
5.3.4 Pemeriksaan Glukosa Urine
Pada
praktikum selanjutnya adalah pemeriksaan glukosa urine dengan metode Benedict
dan metode Fehling. Glukosa urine adalah gugus gula sederhana yang masih ada
diurine setelah melewati berbagai proses di ginjal. Jika ada glukosa dalam
urine, berarti ada yang tidak normal waktu proses urinisasi. Hal itu disebabkan
karena kurang hormon insulin, yaitu hormon yang mengubah glukosa menjadi
glikogen (Gandasoebrata, 1998). Proses pembentukan glukosa urine adalah, darah
disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil
penyaringan berisi produk-produk limbah (misalnya :urea), elektrolit (misalnya:
natrium, kalium, klorida), asam amino dan glukosa. Filtra kemudian dialirkan ke
tubulus ginjal untuk direabsorbsi dan diekskresikan, zat-zat diperlukan
(termasuk glukosa) diserap kembali dan zat-zat yang tidak diperlukan kembali
diekskresikn ke dalam urine. Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh
g;omerulus terdapat dalam urine (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria
(kelebihan gula urine) terjadi karena
nilai ambang ginjal terlampaui (kadar glukosa darah melebihi 160-180 mg/dl atau
8,9-10 mmol/l), atau daya reabsorbsi menurun (Baron, 1990).
Pada praktikum
glukosa urine menggunakan tes reduksi metode Benedict dan metode Fehling. Pada
pereaksi benedict ini berupa larutan yang mengandung cupri sulfat, natrium
karbonat, dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari
kupri sulfat menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O.
Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi benedict bersifat
basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning, atau merah
bata (Poedjiadi, 2013). Warna dan endapan terbentuk pada konsentrasi
karbohidrat yang diperiksa. Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pasien
Tn. Marijo (46thn) dihasilkan uji benedict negatif ( - ), hal ini dikarenakan
tidak terbentuknya endapan berwarna merah bata sehingga urine pasien ini tidak terdapat
glukosa. Sedangkan pada pasien Nn. Dita (20thn) hasil uji benedict dihasilkan
negatif (-) sehingga dinyatakan dalam urinnya tidak terkandung glukosa.
Berdasarkan pengamatan kedua pasien ini uji benedict dinyatakan tidak terdapat
kelainan dan gangguan glukosa urine.
Pada
praktikum glukosa urine dengan metode Fehling ini digunakan pereaksi fehling.
Pereaksi ini dapat direduksi oleh karbohidrat yang mempunyai sifat mereduksi,
juga dapat direduksi oleh reduktor lain. Pereaksi fehling terdiri atas dua
larutan yaitu Fehling A dan Fehling B. Larun Fehling A adalah larutan CuSO4
dalam air, sedangkan Larutan Fehling B adalah laruta K-Tartrat dan NaOH dalam
air. Kedua campuran itu dicampur untuk memeriksa suatu karbohidrat.

(Endapan
merah bata)
Pada pemeriksaan
glukosa urine banyak digunakan pereaksi benedict daripada pereaksi Fehling
dengan beberapa alasan. Hal ini apabila
dalam urine terdapat asam urat atau kreatinin, kedua senyawa ini hanya
mereduksi pereaksi fehling, tetapi tidak dapat mereduksi benedict. Pereaksi
benedict lebih peka daripada fehling(Yazid & Nursanti, 2014).
Berdasarkan
hasil praktikum uji glukosa urine ini dengan metode Fehling pada pasien Tn. Marijo
(46thn) dihasilkan uji negatif ( - ) hal ini dikarenakan tidak terjadi
perubahan warna menjadi merh bata sehingga pasien ini tidak terdapat glukosa
dalam urinenya. Sedangkan hasil praktikum glukosa urine metode fehling Nn. Dita
(20thn) dihasilkan uji negatif ( - ) hal ini dikarenakan tidak terjadi
perubahan warna menjadi endapan merah bata sehingga didapat dalam urine tidak
terdapat glukosa. Berdasarkan literatur bahwa jika uji glukosa urine hasilnya
positif ini menandakan glukosuria. Penyebab glukosuria ini terdapat berbagai
macam yaitu: tanpa hiperglikemi (terjadi pada saat glukosa dibuang ke air
meskipun kadar glukosa dalam darah normal. Hal ini bisa dikarenakan adanya
kelainan fungsi di tubulus renalis), sedangkan kelainan dengan hiperglikemi
(terjadi pada saat Diabetes melitus karena kadar glukosa dalam darah meningkat,
karena kekurangan insulin sehingga nefron diginjal tidak bisa menyerap kembali
kelebihan glukosa karena melewati bnilai ambang ginjal(>170 mg/dl : ambang
glukosa ginjal) (Baron, 1990).
KESIMPULAN
Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1.
Pada
pemeriksaan kualitatif protein urine dengan menggunakan metode Heller dilakukan
penambahan HNO3 yang bertujuan untuk mengetahui adanya cincin putih
pada permukaan urine, hal tersebut menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hasil
pemeriksaan pasien Tn. Marijo (46thn) positif, ditunjukkan dari adanya cincin
putih pada permukaan urine. Pada pasien Nn. Dita (20thn) didapatkan hasil bahwa
pasien negatif, ditunjukkan tidak terbentuk cincin putih pada permukaan urine,
warna urine tetap kuning.
2.
Pada
pemeriksaan semi kuantitatif protein urine dengan menggunakan metode asam
asetat 6% yaitu dengan penambahan asam asetat 6% untuk mengetahui adanya denaturasi
protein dan kekeruhan, hal tersebut menunjukkan hasil positif. Pada pasien Tn.
Marijo (46thn) positif (++++) yakni sangat keruh dan terdapat kepingan yang
menggumpal. Nilai secara semi kuantitatif sebesar >0,5 %. Pada pasien Nn.
Dita (20thn) negatif atau tidak ada kekeruhaan setelah penambahan asam asetat
6%.
3.
Pada
pemeriksaan protein Bence Jones dengan metode Osgood dengan dilakukan pemanasan
sampai suhu 60oC untuk mengetahui kekeruhan dalam urine, kemudian
didinginkan dalam suhu kamar jika kekeruhan hilang maka positif adanya protein,
dilakukan dengan penambahan asam asetat 50% dan pemanasan jika keruh positif
protein Bence Jones. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Tn. Marijo (46thn)
pasien positif Bence Jones, ditunjukkan dengan adanya kekeruhan saat penambahan
asam asetat 50%, kemudian dipanaskan kekeruhan hilang. Pada pasien Nn. Dita
(20thn) hasil negatif protein Bence Jones, ditunjukkan dengan tidak timbul kekeruhan saat penambahan asetat 50%.
4.
Pada
pemeriksaan glukosa urine metode benedict dan fehling dengan penambahan reagen
Benedict dan Fehling. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
merah bata atau hijau kekuningan karena terjadi reduksi ion Cu2+
menjadi Cu+. Berdasarkan hasil pemeriksaan Tn. Marijo (46thn) dan
Nn. Dita (20thn) metode Benedict pasien negatif, ditunjukkan dengan urine tetap
biru setelah penambahan reagen Benedict, dengan metode Fehling hasil negatif,
ditunjukkan dengan urine berwarna sedikit kehijauan setelah penambahan reagen
Fehling.
5.
Pada
percobaan pemeriksaan protein urine pada Tn. Marijo (46thn) menandakan hasil
positif semua, hal ini dikarekan Tn. Marijo (46thn) telah menderita penyakit
gagal ginjal kronis sehingga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus, tubulus
ginjal, dan menderita penyakit uremia. Pada pasien Nn. Dita (20thn) hasil
normal atau tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan glukosa urin pada Tn. Marijo
(46thn) dan Nn. Dita (20thn) hasil negatif, hal ini menandakan tidak ada
kelainan glukosuria.
DAFTAR
PUSTAKA
Baron, D.N. 1990. Patologi Klinik, Ed IV, Terjemahan. Andrianto P dan Gunakan J.Jakarta :Penerbit EGC.
Depkes RI. 1991. Petunjuk Pemeriksaan Laboratorium Puskesmas. Jakarta : Depkes.
Evelyn, P.
2011. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Gandasoebrata, R. 1998. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat
Agung.
Guyton, A.C. 1983. Buku Teks Fisiologi Kedokteran, edisi V, bagian 2, terjemahan
Adji Dharma et al. Jakarta : EGC.
Kurniawan, F. B. 2015. Kimia Klinik : Praktikum Analis Kesehatan.
Jakarta : EGC.
Poedjiadi, A. 2013. Dasar-Dasar Biokimia. Bandung : UI Press.
Toha. 2001. Biokimia, Metabolisme Biomolekul. Bandung:
Alfabeta.
Yazid, E dan Nursanti, L.
2014. Biokimia : Praktikum Analis
Kesehatan. Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar